SUKU BATAK TIMUR
DI KAB. SERDANG BEDAGAI
By: Wendy Hutahaean
Di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai dulu pernah berdiri dua kerajaan besar yaitu Kesultanan Serdang dan Kerajaan Padang Bedagai. Kedua Kerajaan ini didirikan oleh keturunan Batak Simalungun. Namun, corak budaya kedua kerajaan ini adalah budaya Melayu disebabkan raja yang memerintah sudah memeluk agama Islam dan menghapus budaya Simalungun dalam kehidupan pemerintahannya. Jadi dapat dismpulkan bahwa sebenarnya penduduk di Kabupaten Serdang Bedagai adalah penduduk berdarah Batak Simalungun yang berbudaya Melayu dan beragama mayoritas Islam.
A. Pendirian Kerajaan Padang oleh Tuanku Dasalak Saragih
Tuhan Hapultakan (dikenal juga dengan nama Tuan Oemar Baginda Saleh Komar) yang ber-’Pamatang’ di Bajenis – Tebing Tinggi. Tuhan Hapultakan – Saragih Dasalak gelar Tuan Oemar Baginda Saleh Komar memiliki 4 putra yaitu Marah Ledin, Marah Sudin, Marah Alimaludin, Marah Adam; serta seorang putri, yaitu Puang Jaenap. Setelah Tuhan Hapultakan – Saragih gelar Tuan Oemar Baginda Saleh Komar mangkat, abad 16, Raja beralih kepada Marah Sudin. Marah Alimaludin memperluas wilayah di sekitar Pabatu hingga watas Dolog Marlawan. Putra Marah Sudin, yaitu Marah Saleh Safar membentuk wilayah Mandaris hingga watas Tanjung Kasau. Putra yang lain, Sutan Ali menguasai wilayah Bulian. berikutnya beraja pula Tuan Marah Saladin yang terpusat di Bulian. dizamannya terkisah banyak jejayaan, meski umur beliau tidak panjang. Setelah itu dirajakan Marah Adam, dan 1780 berganti ke Syahdewa, selanjutnya Raja Sidin, Raja Pangeran. Dizaman Raja Pangeran dan dibantu Raja Syahbokar ini, saudara-saudaranya dari Saragih Garingging banyak berdatangan untuk berdagang di Tebing Tinggi, seperti berdagang Getah Balata dan lainnya. Dizaman ini pula dibangun pelabuhan armada laut di Bandar Khalifah. Karena Kerajaan Padang yang berpusat di Bulian – Tebing Tinggi menjadi makmur, Deli mulai ingin mengadakan ekspansi. Raja Pangeran & Syahbokar memanggil garis turunan Raja Bolon – Saragih Garingging, yang dikenal Parmata (memiliki ‘kemampuam linuwih’ ) yaitu Putra Tuan malayu, yaituTuan Jaamta untuk membantu beliau mengatasi upaya ekspansi Deli. Deli dengan bantuan Bedagai melakukan penyerangan, yang juga melibatkan Panglima Daud, seorang bangsawan ksatria berdarah Bugis.
Raja Padang menugaskan Tuan Jaamta Malayu untuk memimpin perlawanan. Tuan Jaamta yang Parmata ini memimpin peperangan hingga Deli & Bedagai sebagai sekutunya sangat kewalahan. Peperangan yang dipimpin Jaamta Malayu itu hingga ke wilayah dekat Penggalangan. Deli kalah telak hingga wilayah itu banjir darah; ibarat sungai dengan darah kering yang menghitam, hingga tempat itu selanjutnya lebih popular disebut Bah Birong (kini disebut Sei Berong – pinggiran luar Tebing Tinggi) Usai perang tersebut Raja Raya memanggil kembali Jaamta Malayu. Kesempatan ini dimanfaatkan Deli untuk menawarkan musyawarah damai kepada Raja Pangeran . Raja menyanggupi, dan perundingan disepakati di daerah Bandar Khalifah.
Sesampainya di Kampung Juhar – Bandar Khalifah, ternyata Panglima Daud sudah menghadang dan menghunuskan Keris ke perut Raja Pangeran. Saat itu pula Raja Pangeran tewas. Diceritakan bahwa Keris yang dipakai untuk membunuh Raja Pangeran adalah keris leluhur Saragih Dasalak yang dicuri Panglima Daud saat ia masih berhubungan baik dengan Raja Syahbokar. Kerajaan Padang selanjutnya dipimpin turunan Puang Jaenap, yaitu Marah Hakum yang dibantu pula oleh para pembesar semasa Raja Pangeran , sebut saja Orang Kaya Bakir yang sebelumnya memegang jabatan Bendahara. Raya memberi gelar Raja Goraha bagi Marah Hakum, karena ia bukan asli Partuanon Simalungun, karena ayahnya adalah berasal dari Barus. Di zaman Raja Goraha 1823 – 1870 (orang Tebing Tinggi menyebutnya Raja Geraha) ini, Raja mengangkat ‘Orang-Orang Besar’ yang dianggapnya berjasa di Kerajaan Padang – Tebing Tinggi, untuk membantu kepemerintahannya, Misalnya, Tuan Rambutan, Syahimbang Saragih (Selanjutnya digelari Orang Kaya Syahimbang), Jaamta Malayu Saragih (selanjutnya digelari Tengku Jaamta Malayu – Penasihat Raja), Datuk Alang dan lainnya. Pemerintahan selanjutnya dipimpin Raja-Raja: Mahraja Muda Mohammad Nurdin (1870-1914), Raja Alamsyah (1928-1931), Raja Ismail (1931-1933), Raja Hassim (1933-1946). Meski Deli pernah berekspansi dalam pemerintahan langsung dengan mengirim wakilnya, yaitu Tengku Sulaiman (1885-1888) dan Tengku Djalaluddin (1914-1928), masa itu Raja-Raja Padang di Bulian Tebing Tinggi diturunkan kedudukannya oleh Deli dengan sebutan Wazir.
B. Pendirian Tebing Tinggi oleh Datu Bandar Kajum Damanik
Wilayah Suku Batak Simalungun di Kabupaten Serdang Bedagai beberapa kecamatan yaitu:
1. Kec. Bintang Bayu
2. Kec. Dolok Masihul
3. Kec. Dolok Merawan
4. Kec. Kotarih
5. Kec. Pegajahan
6. Kec. Sei Bamban
7. Kec. Sei Rampah
8. Kec. Serba Jadi
9. Kec. Silinda
10. Kec. Sipispis
11. Kec. Tebing Syahbandar
12. Kec. Tebingtinggi
Traditional House of Batak Simalungun Serdang |
A. Pendirian Kerajaan Padang oleh Tuanku Dasalak Saragih
Mengikuti silsilah Saragih Garingging, Saragih Dasalak dimulai dari putra Raja Nengel yaitu Tuan Mortiha. Menurut ‘Turiturian’ yang lain Dasalak adalah nama, Yaitu berita Raja menemukan seorang bayi di atas rumpun Bambu saat sedang berburu ke hutan, yang disebut juga “Jolma napultak humbai buluh”. Lalu anak bayi itu diberi nama : Dasalak lahir tahun berkisar 1690, selisih umur 1 tahun dengan Raja Bolon. Permaisuri sangat sibuk dengan pekerjaan mengurus kedua bayi yang masih kecil itu, walaupun dibantu dengan kalangan istana.
Pertumbuhan kedua anak itu berjalan dengan baik,terlihat kemiripan mereka seolah olah kembar, karena kecerdasan dan perawakan mereka hampir sama. Sejak berumur 9 tahun kedua anak itu masing2 diberikan permainan Gasing. Raja Bolon diberi Gasing yang terbuat dari emas,sedangkan si Dasalak terbuat dari perak. Dengan demikian,dari jauh sudah bisa dibedakan yang mana Raja Bolon dan yang mana Dasalak. Di kisah lain Dasalak bermula dari “Mardawam Begu” (hubungan semarga hingga melahirkan anak) oleh Raja Nengel. Dari sinilah muncul Kerajaan atau pun Kejeruan Padang di Tebing Tinggi sekitarnya. Bahkan WHM Schadee dalam Geschiedenis van Sumatra’s Ooskust, deel I (Sumatra Instituut Amsterdam 1918) hal 104, bahwa terjadi ceritera pada suatu tahun Kesawan dirampas oleh Kejeruan Padang. Turunan kelima dari Kejeruan Padang ini bernama Panglima Amal. Sedang Panglima Amal ini menjadi Sultan dengan akta Sultan Siak pada 8 Maret 1814. John Anderson saat berkunjung ke Deli pada 1823 juga bertemu dengan Panglima Amal yang telah menjadi Sultan.
Jika dikatakan bahwa Kesawan pernah dirampas Kejeruan Padang, yang turunan kelimanya adalah Panglima Amal, kita hitung saja satu generasi adalah 30 tahun dengan patokan tahun eksiistensi Panglima Amal adalah 1814, maka 1814 – (5 x 30) = 1664. Jadi berkisar tahun 1664 Kejeruan Padang di Tebing Tinggi sudah ada dan sudah dikenal. Kita tidak menemukan nama kejeruan Padang seperti penjelasan WHM Schadee, selain Padang di Tebing Tinggi sekitarnya ini.
Menurut penuturan orang-orang tua tempatan, berbagai rujukan dan catatan Putra Praja (1-1-1964), kisah Kerajaan Padang di Tebing Tinggi dimulai dari Raja:
Pertumbuhan kedua anak itu berjalan dengan baik,terlihat kemiripan mereka seolah olah kembar, karena kecerdasan dan perawakan mereka hampir sama. Sejak berumur 9 tahun kedua anak itu masing2 diberikan permainan Gasing. Raja Bolon diberi Gasing yang terbuat dari emas,sedangkan si Dasalak terbuat dari perak. Dengan demikian,dari jauh sudah bisa dibedakan yang mana Raja Bolon dan yang mana Dasalak. Di kisah lain Dasalak bermula dari “Mardawam Begu” (hubungan semarga hingga melahirkan anak) oleh Raja Nengel. Dari sinilah muncul Kerajaan atau pun Kejeruan Padang di Tebing Tinggi sekitarnya. Bahkan WHM Schadee dalam Geschiedenis van Sumatra’s Ooskust, deel I (Sumatra Instituut Amsterdam 1918) hal 104, bahwa terjadi ceritera pada suatu tahun Kesawan dirampas oleh Kejeruan Padang. Turunan kelima dari Kejeruan Padang ini bernama Panglima Amal. Sedang Panglima Amal ini menjadi Sultan dengan akta Sultan Siak pada 8 Maret 1814. John Anderson saat berkunjung ke Deli pada 1823 juga bertemu dengan Panglima Amal yang telah menjadi Sultan.
Jika dikatakan bahwa Kesawan pernah dirampas Kejeruan Padang, yang turunan kelimanya adalah Panglima Amal, kita hitung saja satu generasi adalah 30 tahun dengan patokan tahun eksiistensi Panglima Amal adalah 1814, maka 1814 – (5 x 30) = 1664. Jadi berkisar tahun 1664 Kejeruan Padang di Tebing Tinggi sudah ada dan sudah dikenal. Kita tidak menemukan nama kejeruan Padang seperti penjelasan WHM Schadee, selain Padang di Tebing Tinggi sekitarnya ini.
Menurut penuturan orang-orang tua tempatan, berbagai rujukan dan catatan Putra Praja (1-1-1964), kisah Kerajaan Padang di Tebing Tinggi dimulai dari Raja:
· Tuhan Hapultakan (dikenal juga dengan nama Tuan Oemar Baginda Saleh Komar)
· Marah Sudin
· Raja Saladin
· Raja Adam
· Raja Syahdewa
· Raja Sidin
· Raja Tebing Pangeran (1806-1823)
· Marah Hakim (Raja Geraha 1823-1870)
· Maharaja Muda Haji Muhammad Nurdin (Wazir Negeri Padang 1870-1914)
· aja Alamsyah (1928-1931)
· Raja Ismail (1931-1933)
· Raja Hassim (1933-1946)
Tuhan Hapultakan (dikenal juga dengan nama Tuan Oemar Baginda Saleh Komar) yang ber-’Pamatang’ di Bajenis – Tebing Tinggi. Tuhan Hapultakan – Saragih Dasalak gelar Tuan Oemar Baginda Saleh Komar memiliki 4 putra yaitu Marah Ledin, Marah Sudin, Marah Alimaludin, Marah Adam; serta seorang putri, yaitu Puang Jaenap. Setelah Tuhan Hapultakan – Saragih gelar Tuan Oemar Baginda Saleh Komar mangkat, abad 16, Raja beralih kepada Marah Sudin. Marah Alimaludin memperluas wilayah di sekitar Pabatu hingga watas Dolog Marlawan. Putra Marah Sudin, yaitu Marah Saleh Safar membentuk wilayah Mandaris hingga watas Tanjung Kasau. Putra yang lain, Sutan Ali menguasai wilayah Bulian. berikutnya beraja pula Tuan Marah Saladin yang terpusat di Bulian. dizamannya terkisah banyak jejayaan, meski umur beliau tidak panjang. Setelah itu dirajakan Marah Adam, dan 1780 berganti ke Syahdewa, selanjutnya Raja Sidin, Raja Pangeran. Dizaman Raja Pangeran dan dibantu Raja Syahbokar ini, saudara-saudaranya dari Saragih Garingging banyak berdatangan untuk berdagang di Tebing Tinggi, seperti berdagang Getah Balata dan lainnya. Dizaman ini pula dibangun pelabuhan armada laut di Bandar Khalifah. Karena Kerajaan Padang yang berpusat di Bulian – Tebing Tinggi menjadi makmur, Deli mulai ingin mengadakan ekspansi. Raja Pangeran & Syahbokar memanggil garis turunan Raja Bolon – Saragih Garingging, yang dikenal Parmata (memiliki ‘kemampuam linuwih’ ) yaitu Putra Tuan malayu, yaituTuan Jaamta untuk membantu beliau mengatasi upaya ekspansi Deli. Deli dengan bantuan Bedagai melakukan penyerangan, yang juga melibatkan Panglima Daud, seorang bangsawan ksatria berdarah Bugis.
Raja Padang menugaskan Tuan Jaamta Malayu untuk memimpin perlawanan. Tuan Jaamta yang Parmata ini memimpin peperangan hingga Deli & Bedagai sebagai sekutunya sangat kewalahan. Peperangan yang dipimpin Jaamta Malayu itu hingga ke wilayah dekat Penggalangan. Deli kalah telak hingga wilayah itu banjir darah; ibarat sungai dengan darah kering yang menghitam, hingga tempat itu selanjutnya lebih popular disebut Bah Birong (kini disebut Sei Berong – pinggiran luar Tebing Tinggi) Usai perang tersebut Raja Raya memanggil kembali Jaamta Malayu. Kesempatan ini dimanfaatkan Deli untuk menawarkan musyawarah damai kepada Raja Pangeran . Raja menyanggupi, dan perundingan disepakati di daerah Bandar Khalifah.
Sesampainya di Kampung Juhar – Bandar Khalifah, ternyata Panglima Daud sudah menghadang dan menghunuskan Keris ke perut Raja Pangeran. Saat itu pula Raja Pangeran tewas. Diceritakan bahwa Keris yang dipakai untuk membunuh Raja Pangeran adalah keris leluhur Saragih Dasalak yang dicuri Panglima Daud saat ia masih berhubungan baik dengan Raja Syahbokar. Kerajaan Padang selanjutnya dipimpin turunan Puang Jaenap, yaitu Marah Hakum yang dibantu pula oleh para pembesar semasa Raja Pangeran , sebut saja Orang Kaya Bakir yang sebelumnya memegang jabatan Bendahara. Raya memberi gelar Raja Goraha bagi Marah Hakum, karena ia bukan asli Partuanon Simalungun, karena ayahnya adalah berasal dari Barus. Di zaman Raja Goraha 1823 – 1870 (orang Tebing Tinggi menyebutnya Raja Geraha) ini, Raja mengangkat ‘Orang-Orang Besar’ yang dianggapnya berjasa di Kerajaan Padang – Tebing Tinggi, untuk membantu kepemerintahannya, Misalnya, Tuan Rambutan, Syahimbang Saragih (Selanjutnya digelari Orang Kaya Syahimbang), Jaamta Malayu Saragih (selanjutnya digelari Tengku Jaamta Malayu – Penasihat Raja), Datuk Alang dan lainnya. Pemerintahan selanjutnya dipimpin Raja-Raja: Mahraja Muda Mohammad Nurdin (1870-1914), Raja Alamsyah (1928-1931), Raja Ismail (1931-1933), Raja Hassim (1933-1946). Meski Deli pernah berekspansi dalam pemerintahan langsung dengan mengirim wakilnya, yaitu Tengku Sulaiman (1885-1888) dan Tengku Djalaluddin (1914-1928), masa itu Raja-Raja Padang di Bulian Tebing Tinggi diturunkan kedudukannya oleh Deli dengan sebutan Wazir.
B. Pendirian Tebing Tinggi oleh Datu Bandar Kajum Damanik
Riwayat menceritakan, bahwa ada seseorang dari Bandar berpuak Simalungun bernama Datuk Bandar Kajum meninggalkan kampungnya melawat ke daerah Padang, bersama-sama keluarga dan pengikut-pengikutnya, karena diserang kerajaan lain. Mula-mula mereka menempati sebuah kampung yang bernama Tanjung Marulak diwilayah Tuan Rambutan – daerah Kebun Rambutan. Di Tanjung Marulak inipun mereka mendapat serangan dari Kerajaan Raya, kemudian Datuk Bandar Kajum (marga Damanik) mencari tempat tinggal di atas dataran tinggi di pinggir sungai Padang.
Bersama dengan beberapa pengikutnya Datuk Bandar Kajum mendirikan rumah dan kampung yang di pagari dengan kayu yang kokoh di Tebing tepi sungai Padang, dibuatnya tempat pertahanan gunanya untuk menahan serangan musuh kalau datang menyerbu kampungnya. Pada suatu ketika puluhan orang dari Raya datang menyerang kampung Datuk Bandar Kajum, melihat musuh yang datang, seluruh keluarga Datuk Bandar Kajum dan orang-orang di kampung itu melarikan diri mengungsi ke kebun Rambutan.
Diceritakan, Datuk Bandar Kajum memperoleh bantuan dari administratur kebun Rambutan, sehingga Datuk Bandar Kajum dapat mengalahkan orang-orang dari Raya dan pimpinan pasukannya dapat ditawan. Kemudian Datuk Bandar Kajum dan keluarganya bersama pengikut-pengikutnya kembali ke kampung yang telah dibangunnya, di dataran tinggi pertemuan sungai Padang dan sungai Bahilang. Di tempat itu pernah dibangun pelataran tempat sampan berlabuh dan tempat sampan ditambatkan. Tempat itu kemudian terus berkembang menjadi tempat pemukiman dan pemakaman Datuk Bandar Kajum dan keluarga serta pengikut-pengikutnya. Itulah asal usul Kota Tebing Tinggi yang sekarang disebut Tebing Tinggi Lama.
Bersama dengan beberapa pengikutnya Datuk Bandar Kajum mendirikan rumah dan kampung yang di pagari dengan kayu yang kokoh di Tebing tepi sungai Padang, dibuatnya tempat pertahanan gunanya untuk menahan serangan musuh kalau datang menyerbu kampungnya. Pada suatu ketika puluhan orang dari Raya datang menyerang kampung Datuk Bandar Kajum, melihat musuh yang datang, seluruh keluarga Datuk Bandar Kajum dan orang-orang di kampung itu melarikan diri mengungsi ke kebun Rambutan.
Diceritakan, Datuk Bandar Kajum memperoleh bantuan dari administratur kebun Rambutan, sehingga Datuk Bandar Kajum dapat mengalahkan orang-orang dari Raya dan pimpinan pasukannya dapat ditawan. Kemudian Datuk Bandar Kajum dan keluarganya bersama pengikut-pengikutnya kembali ke kampung yang telah dibangunnya, di dataran tinggi pertemuan sungai Padang dan sungai Bahilang. Di tempat itu pernah dibangun pelataran tempat sampan berlabuh dan tempat sampan ditambatkan. Tempat itu kemudian terus berkembang menjadi tempat pemukiman dan pemakaman Datuk Bandar Kajum dan keluarga serta pengikut-pengikutnya. Itulah asal usul Kota Tebing Tinggi yang sekarang disebut Tebing Tinggi Lama.
Wilayah Suku Batak Simalungun di Kabupaten Serdang Bedagai beberapa kecamatan yaitu:
1. Kec. Bintang Bayu
2. Kec. Dolok Masihul
3. Kec. Dolok Merawan
4. Kec. Kotarih
5. Kec. Pegajahan
6. Kec. Sei Bamban
7. Kec. Sei Rampah
8. Kec. Serba Jadi
9. Kec. Silinda
10. Kec. Sipispis
11. Kec. Tebing Syahbandar
12. Kec. Tebingtinggi
Dalam proporsi yang kecil, suku Batak Simalungun juga bermukim di wilayah Suku Melayu Serdang yang terdiri dari beberapa kecamatan, antaralain:
1. Kec. Pantai Cermin
2. Kec. Perbaungan
3. Kec. Teluk Mengkudu
4. Kec. Tanjung Beringin
5. Kec. Bandar Khalipah
SEJARAH KECAMATAN DOLOK MERAWAN
Sumber:
1. http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Serdang_Bedagai
2. http://www.kerajaannusantara.com/id/kesultanan-serdang/busana
2. Kec. Perbaungan
3. Kec. Teluk Mengkudu
4. Kec. Tanjung Beringin
5. Kec. Bandar Khalipah
Wilayah Kerajaan
Bedagai ini sendiri meliputi Tanjung Beringin, Sei Rampah, Teluk Mengkudu,
Dolok Masihul dan Bandar Khalifah, yang pusat kerajaannya berkedudukan di
Bedagai yang Rajanya diberi Gelar Pangeran Sulung Laut. Bagian-bagian wilayah
kerajaan Padang Bedagai masing-masing dikepalai oleh seorang datuk, dan datuk
tanjung beringin diberi gelar datuk Sri Amar Asmara.
SEJARAH KECAMATAN DOLOK MERAWAN
Dahulu wilayah Dolok
Merawan adalah merupakan wilayah pertanian yang subur dan masih berbentuk
Kerajaan. Raja yang berkuasa pada saat itu bernama Tuan Tohu Alam. Raja
Tuan Tohu Alam mempunyai 2 (dua) orang putra yaitu:
- Raja Tuan Porang Laut
- Raja Tuan Biong
Pada tahun 1908 tahta
kerajaan di pimpin oleh Putra pertamanya Raja Tuan Porang Laut, dengan
menggunakan bahasa pengantar Kerajaan Bahasa Simalungun, tidak lama beliau
berkuasa datanglah sekelompok pasukan yang menyerang Dolok Merawan di bawah
kepemimpinan Raja Raya, akibat serangan tersebut Raja Tuan Porang Laut tak
berdaya, maka kemudian beliau meminta bantuan Raja Sultan Deli dengan beberapa
perjanjian sebagai berikut :
- Raja Tuan Porang Laut harus sanggup
membayar biaya serdadu yang diturunkan.
- Raja Tuan Porang Laut harus
takluk kepada Kerajaan Padang Bedagai.
Sesudah perjanjian
tersebut disetujui kedua belah pihak, maka Raja Sultan Deli menurunkan
serdadunya sebanyak 12 orang. Namun Raja Tuan Porang Laut tidak
mampu membiayai serdadu yang diturunkan Raja Sultan Deli. Oleh karena itu
beliau kemudian meminta bantuan kepada TJONG AFIE, sehingga akhirnya Raja Raya
dapat di usir dari wilayah Dolok Merawan. Pada tahun 1933 Raja Tuan Porang
Lautmeninggal dunia, dan sejak itu pula Tahta Kerajaan digantikan oleh adiknya
yang bernama Raja Tuan Biong (Putra kedua dari Raja Tuan Tohu Alam) yaitu sejak
tahun 1933 s/d 1947. Perjanjian yang telah disepakati oleh Raja Tuan Porang
Laut dengan Raja Sultan Deli dan TJONG AFIE ditagih kepada Raja
Tuan Biong yang memimpin Tahta saat itu, maka Raja Tuan Biong membayar hutang
tersebut dengan memberikan tanah Sibulan seluas + 16 Km2.
Sejak meninggalnya Raja Tuan Biong (1947) digantikan oleh Raja Tuan Ayok (tahun
1948) dan sejak saat itu kerajaan Dolok Merawan berganti menjadi bentuk
Kewedananaan atau Kecamatan sekarang.
SEJARAH NAMA
- Nama di Daerah: Dolok Merawan
- Nama lain: Bajalingge
- Nama yang dipakai: Dolok
Merawan
Sejarah nama: Nama Kecamatan Dolok Merawan berasal dari bahasa
Simalungunyaitu Dolok Marlawan yang berarti Bukit Perlawanan, timbulnya nama
tesebut karena daerah Dolok Merawan ini merupakan daerah perlawanan antara Raja
Raya dengan Raja Dolok Batu Nanggar. Adapun penyebab peperangan tersebut karena
Raja Dolok Batu Nanggar mengambil anak gadis dari Raja Raya tanpa melakukan
peradatan secara adat Simalungun.
Wilayah kekuasaan
Kesultanan Serdang meliputi Batang Kuis, Padang, Bedagai, Percut, Senembah,
Araskabu dan Ramunia. Kemudian wilayah Perbaungan juga masuk dalam
Kesultanan Serdang karena adanya ikatan perkawinan.1
Menurut riwayat,
seorang Laksamana dari Sultan Iskandar Muda Aceh bernama
Sri Paduka Gocah Pahlawan, bergelar Laksamana Khoja Bintan, menikah dengan adik
Raja Urung (negeri) Sunggal, sebuah daerah Batak Karo yang sudah masuk Melayu (sudah
masuk Islam). Kemudian, oleh 4 Raja-Raja Urung Batak Karo yang sudah Islam tersebut,
Laksamana ini diangkat menjadi raja di Deli pada
tahun 1630.
Dengan peristiwa itu, Kerajaan Deli telah resmi berdiri, dan Laksamana menjadi
Raja Deli pertama. Dalam proses penobatan Raja Deli tersebut, Raja Urung
Sunggal bertugas selaku Ulon Janji, yaitu mengucapkan taat setia dari
Orang-Orang Besar dan rakyat kepada raja. Kemudian, terbentuk pula Lembaga Datuk
Berempat, dan Raja Urung Sunggal merupakan salah seorang anggota Lembaga Datuk
Berempat tersebut.1
Dalam
perkembangannya, pada tahun 1723 terjadi kemelut ketika Tuanku Panglima Paderap, Raja
Deli ke-3 mangkat. Kemelut ini terjadi karena putera tertua Raja yang
seharusnya menggantikannya memiliki cacat di matanya, sehingga tidak bisa
menjadi raja. Putera nomor 2, Tuanku Pasutan yang sangat berambisi menjadi raja
kemudian mengambil alih tahta dan mengusir adiknya, Tuanku Umar bersama
ibundanya Permaisuri Tuanku Puan Sampali ke wilayah Serdang.1
Menurut adat Melayu,
sebenarnya Tuanku Umar yang seharusnya menggantikan ayahnya menjadi Raja Deli,
karena ia putera garaha (permaisuri), sementara Tuanku Pasutan hanya dari
selir. Tetapi, karena masih di bawah umur, Tuanku Umar akhirnya tersingkir dari
Deli. Untuk menghindari agar tidak terjadi perang saudara, maka 2 Orang Besar
Deli, yaitu Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembal, bersama seorang Raja
Urung Batak Timur di wilayah Serdang bagian hulu (Tanjong Merawa), dan seorang
pembesar dari Aceh (Kejeruan Lumu), lalu merajakan Tuanku Umar sebagai Raja
Serdang pertama tahun 1723. Sejak saat itu, berdiri Kerajaan Serdang sebagai pecahan
dari Kerajaan Deli.1
Penggabungan
dengan Perbaungan
Kerajaan Serdang
berdiri lebih dari dua abad, dari 1723 hingga 1946. Selama periode
itu, telah berkuasa 5 orang Sultan. Sultan Serdang I adalah Tuanku Umar,
kemudian ia digantikan oleh Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah (1767-1817).
Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah beristerikan Tuangku Sri Alam, puteri Raja Perbaungan. Di masa Sultan Ainan Johan
ini, terjadi penyatuan Kerajaan Serdang dan Perbaungan. Ceritanya, sewaktu Raja Perbaungan meninggal dunia, tidak
ada orang yang berhak menggantikannya, sebab ia tidak memiliki anak laki-laki.
Oleh karena anak perempuan Raja Perbaungan menikah dengan Sultan
Serdang, maka akhirnya, Kerajaan Perbaungan digabung dengan
Serdang. Jadi, penggabungan ini berlangsung semata-mata karena adanya hubungan
kekerabatan, bukan karena peperangan.1
Putera Ainan Johan
Almashah yang tertua, Tuangku Zainal Abidin, diangkat menjadi Tengku Besar.
Suatu ketika ia pergi berperang membantu mertuanya yang sedang terlibat perang
saudara merebut tahta Langkat. Dalam peperangan membela mertuanya tersebut, ia
terbunuh di Pungai (Langkat) dan digelar Marhom Mangkat di Pungai (1815). Untuk
menggantikan putera mahkota (di Serdang disebut Tengku Besar) yang tewas, maka,
adik putera mahkota, yaitu Tuanku Thaf Sinar Basyarshah kemudian diangkat
sebagai penggantinya, dengan gelar yang sama: Tengku Besar.1
Ketika Sultan Johan
Alamshah mangkat tahun 1817, adik Tuangku Zainal Abidin, yaitu Tuanku Sultan
Thaf Sinar Basarsyah (memerintah 1817-1850) diangkat oleh Dewan Orang Besar
menjadi raja menggantikan ayahnya. Ketika itu, sebenarnya Tuanku Zainal Abidin,
Tengku Besar yang sudah tewas, memiliki putera, namun puteranya ini tidak
berhak menjadi raja, sebab, ketika ayahnya meninggal dunia, statusnya masih
sebagai Tengku Besar, bukan raja. Jadi, menurut adat Melayu Serdang, keturunan
putera tertua tidak otomatis menjadi raja, karena sebab-sebab tertentu.1
Demikianlah,
pemerintahan baru berganti dan keadaan terus berubah. Pada tahun 1865, Serdang
ditaklukkan oleh Belanda. Selanjutnya, pada tahun 1907, Serdang menandatangani
perjanjian dengan Belanda yang melarang Serdang berhubungan dengan negeri
luar. Setelah bertahun-tahun dalam pengaruh Belanda, akhirnya, pada tahun 1946, pada masa
pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamshah, Serdang bergabung dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.1
Struktur tertinggi di
Kerajaan Serdang dipimpin oleh seorang Raja. Pada masa itu, peranan seorang
raja adalah:1
- Sebagai Kepala Pemerintahan Kerajaan
Serdang.
- Sebagai Kepala Agama Islam
(Khalifatullah fi’l ardh)
- Sebagai Kepala Adat Melayu.
Pada masa
pemerintahan raja yang ke-2, Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah (1767-1817),
tersusunlah Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang yang berpangkat Wazir
Sultan, yaitu:1
- Raja Muda (gelar ini kemudian berubah
menjadi Bendahara)
- Datok Maha Menteri (wilayahnya di
Araskabu)
- Datok Paduka Raja (wilayahnya di
Batangkuwis) keturunan Kejeruan Lumu
- Sri Maharaja (wilayahnya di Ramunia).
Pembentukan Lembaga
Orang Besar Berempat di Serdang ini, disebabkan Raja Urung Sunggal kembali ke
Deli, sementara Raja Urung Senembah dan Raja Urung Tg. Merawa tetap menjadi
raja di wilayah taklukan Serdang.
Sultan Ainan Johan
Almashah memperkokoh Lembaga Empat Orang Besar di atas berdasarkan fenomena
alam dan hewan yang melambangkan kekuatan, seperti 4 penjuru mata angin (barat,
timur, selatan, utara), kokohnya 4 kaki binatang dan azas Tungku Sejarangan (4
batu penyangga untuk masak makanan). Lembaga itu juga melambangkan sendi
kekeluargaan pada masyarakat Melayu Sumatera Timur yaitu: suami, isteri, anak
beru (menantu) dan Puang (mertua). Demikianlah, pembentukan lembaga di atas
didasarkan pada akar budaya masyarakat Serdang sendiri. Selanjutnya, lembaga
inilah yang berperan dalam upacara perkawinan maupun perhelatan besar.1
Selain para pejabat
istana di atas, Sultan juga dibantu oleh Syahbandar (perdagangan) dan Temenggong
(Kepala polisi dan keamanan). Sultan Serdang menjalankan hukum kepada rakyat
berdasarkan Hukum Syariah Islam dan Hukum Adat seperti kata pepatah, “Adat
bersendikan Hukum Syara, Hukum Syara’ bersendikan Kitabullah”.1
- 1728-1782 Tuanku Umar Johan Pahlawan
Alam Syah bin Tuanku Panglima Paderap Kejeruan Junjungan, Raja
Serdang
- 1782-1822 Tuanku
Ainan Johan Pahlawan Alam Syah ibni al-Marhum Tuanku Umar Al-Marhum
Kacapuri, Raja Serdang.
- 1822-1851 Sultan Thaf
Sinar Basyar Syah ibni al-Marhum Tuanku Ainan Johan Pahlawan Alam
Shah Al-Marhum Besar, Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
- 1851-1879 Sri
Sultan Muhammad Bashar ud-din Saif ul-'Alam Shah ibni al-Marhum
Sultan Thaf Sinar Bashar Shah Al-Marhum Kota Batu, Sultan dan Yang
di-Pertuan Besar Serdang
- 1879-1946 Sri
Sultan Tuanku Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah ibni al-Marhum Sultan
Bashar un-din Al-Marhum Perbaungan, Sultan dan Yang di-Pertuan Besar
Serdang
- 1946-1960 Tuanku
Rajih Anwar ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Tengku
Putra Mahkota, Kepala Rumah Tangga Istana Serdang
- 1960-2001 Sri
Sultan Tuanku Abu Nawar Sharifu'llah Alam Shah al-Haj ibni al-Marhum
Sultan Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Sultan dan Kepala Rumah Tangga
Istana Serdang
- 2001 Sri Sultan Tuanku Lukman Sinar Bashar Shah II ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Sultan dan Kepala Rumah Tangga Istana Serdang
Sumber:
1. http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Serdang_Bedagai
2. http://www.kerajaannusantara.com/id/kesultanan-serdang/busana
Melayu Serdang Dance - Tari Serampang XII
Melayu Serdang Song - Zapin Serdang
Bahwa sebenarnya H. Abdul Karim gelar Dt Bandar Kajum merupakan bangsawan sekaligus ulama Melayu yang diutus oleh Sultan Siak untuk menjadi Panglima sebagai pemimpin Wilayah yang kala itu Negeri Padang merupakan salah satu taklukan Diraja Siak. Sesuai gelar yang dipangku beliau Datuk Bandar bermakna jabatan Pemimpin bagi sebuah Wilayah, sedangkan Kajum merupakan bahasa melayu yang bermaksud mengumpulkan, mengayomi, mengajak. Dalam perjalanan menuju Negeri Padang H Abdul Karim yang juga merupakan seorang ulama sempat berdakwah di daerah Bandar yg pada waktu itu wilayah Bandar masih beragama nenek moyang. Wilayah Bandar yang dimaksud tsb kini disebut sebagai Bandar Masilam, dikarenakan dakwah yang dilakukan oleh H. Abdul Karim mengakibatkan banyak masyarakat Bandar yang memeluk agama Islam. Oleh sebab jasa beliau itu Partuanon yang berada di daerah Bandar menganggap Abdul Karim sebagai saudara kandung dan diberi marga Damanik. ( saya Zuriat langsung generasi ke 5 daripada H. Abdul Karim gelar Datuk Bandar Kajum). Wassalam
ReplyDelete