Bahasa
Simalungun merupakan salah satu sub bahasa Batak, dan bahasa ibu yang
dituturkan oleh suku yang mendiami daerah kabupaten Simalungun dan
sebagian daerah Kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Asahan.
Menurut fakta dan historis, bahasa Simalungun pada hakekatnya menyebar
hampir di seluruh daerah di Sumatera Utara terutama di wilayah bagian
Timur bahkan sampai ke Riau. Pernyataan tersebut didasari oleh banyaknya
bukti-bukti yang mengindikasikan hal tersebut. Bukti yang cukup kuat
antara lain dari banyaknya nama-nama tempat/ daerah yang berbahasakan
Simalungun, seperti nama desa Pamatang Ganjang, Bangun Purba, Parbahuman
(Perbaungan), Tobing Tinggi, Gunung Para, Sipispis, Dolog Marlawan, dan
Dolog Masihol di Deli Serdang dan Serdang Bedagai (Sordang Mandogei);
Pamatang Joring, Parapat Janji, Pamatang Panei, Pagurawan (Pargurouan),
Silou Buntu, Silou Lama, Parhutaan Silou, Sungai Silou, Marjanji Acce
(Asih), Pulou Raja, Bandar Pulou, Pamatang Cengkering, Buntu Panei, dan
Bandar Pasir Mandogei di Asahan; Aek Hanopan, Rantau Parapat, Panei
Hilir, Panei Tengah, Panei Hulu, Sungai Panei di Labuhan Batu; Pematang
Peranap dan Bangun Purba di Riau, dan banyak lagi yang lain. Dari sini
dapat disimpulkan bahwa nama-nama tempat/ daerah tersebut tentulah
didirikan oleh orang Simalungun dan sangat kecil kemungkinan bukan orang
Simalungun, karena nama-nama tempat tersebut umum dipakai oleh orang
Simalungun dalam membuat nama-nama kampung. Secara historis, hal ini
diperkuat lagi oleh adanya kerajaan Simalungun yang bernama Nagur yang
pada masa kejayaannya pada abad V hingga abad XV menguasai hampir
seluruh daerah di Sumatera Utara; ke selatan berbatasan dengan danau
Toba, ke utara berbatasan dengan Selat Malaka, kemudian ke arah barat
berbatasan dengan daerah Gayo Lues, dan ke timur berbatasan dengan
Kesultanan Siak. Demikian juga Kerajaan Silou sebagai penerus Nagur yang
pusat kerajaan (pamatang) berada di Kecamatan Dolog Silou, di mana daerah kekuasaannya meliputi sebagian daerah koloni Nagur tersebut.
Berbicara mengenai dialek, bahasa Simalungun atau Sahap Simalungun dibagi ke dalam beberapa dialek, yaitu dialek:
1. Sin Raya,
2. Sin Dolog,
3. Sin Purba,
4. Sin Panei,
5. Sin Bandar dan
6. dialek di daerah jahei-jahei (yang berbatasan dengan daerah Melayu)
Ada lagi
dialek-dialek lain yang belum dapat digolongkan. Dialek utama dari
sekian dialek itu yang dijadikan sebagai tolok ukur atau standard
adalah dialek Sin Raya yang digunakan oleh orang Simalungun yang
tinggal di Kecamatan Raya dan Raya Kahean. Mengapa demikian? Karena
dialek ini diakui tidak banyak mendapat pengaruh dari bahasa di
sekelilingnya, seperti bahasa Toba, Karo dan Melayu. Karena memang
masyarakat di daerah ini hingga kini masih sangat mengantisipasi
pengaruh masyarakat Toba (Parhuluan) dan Karo tersebut.
Semua dialek
yang tersebut di atas pada awalnya adalah sama seperti dialek Raya,
namun akibat derasnya pengaruh dari bahasa di sekelilingnya yang berawal
dari daerah perbatasan, lambat laun keorisinilan bahasa Simalungun
pudar. Seperti halnya dialami oleh orang Simalungun yang bermukim di
sepanjang daerah pesisir danau Toba atau daerah Horisan,
seperti di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Sidamanik, Pematang
Sidamanik, Dolog Pardamean, Haranggaol Horisan, dan Purba; di mana
akibat seringnya mengadakan interaksi dengan penutur bahasa Toba, yang
datang dari pulau Samosir dan sekitarnya, maka bahasa Simalungun di
daerah itu banyak bercampur aduk dengan bahasa mereka (Toba).
Demikian juga
mereka yang bermukim di Kecamatan Dolog Panribuan, Jorlang Hataran,
Tanoh Jawa, Jawa Maraja Bah Jambi, Huta Bayu Raja, Bosar Maligas, dan
Ujung Padang, di mana penutur bahasa Simalungun banyak yang beralih
atau salih menjadi
penutur bahasa Toba, bahkan lebih dominan Tobanya daripada
Simalungunnya, sehingga bukanlah suatu yang mengherankan bila orang
Simalungun di daerah ini banyak yang tidak tahu marsahap Simalungun.
Di
Kotamadya Pematang Siantar, Kecamatan Siantar, Panei dan Panombeian
Panei juga demikian, bahasa Simalungunnya juga banyak bercampur dengan
bahasa Toba, yang jumlah penuturnya cukup signifikan, namun tidak sampai
menghilangkan eksistensi bahasa Simalungun seperti yang terjadi di
daerah kekuasaan marga Sinaga itu. Makanya banyak orang yang berasumsi
kalau Siantar itu lebih identik dengan Tobanya dari pada Simalungunnya.
Lain
halnya dengan orang Simalungun yang tinggal di Kecamatan Dolog Silou
dan Silimakuta, di mana mereka kerap berinteraksi dengan orang Karo
akibat daerah mereka saling berbatasan, mengakibatkan bahasa Simalungun
terkontaminasi bahasa Karo, meskipun tidak sepenuhnya.
Lain
lagi dengan orang Simalungun yang berdomisili di daerah Jahei-jahei
(Kecamatan Bandar, Pematang Bandar, Bandar Masilam, Bandar Huluan,
Gunung Malela, Gunung Maligas, dan Dolog Batu Nanggar), di mana
masyarakatnya mayoritas beragama Islam dan sering mengadakan kontak
dengan suku Melayu di Deli Serdang dan Asahan, baik di bidang keagamaan
maupun perdagangan, secara tak sengaja satu persatu bahasa Melayu pun
masuklah ke dalam bahasa Simalungun. Akibat hal ini orang Simalungun
yang berasal dari daerah bagian atas (Raya, Purba, Panei, dll) sering
menyebut orang Simalungun di daerah tersebut dengan sebutan Jahei-jahei
atau Maya-maya, karena dianggap telah memelayukan diri akibat masuk
Islam dan tidak lagi mengacuhkan hal-hal yang berhubungan dengan
adat-istiadat dan lebih parahnya lagi mereka menganggap orang Simalungun
Jahei-jahei sudah tidak mengerti lagi bahasa Simalungun. Namun
kenyataannya berbeda, asumsi mereka ternyata keliru, keorisinilan kata
dan kehalusan berbicara sesungguhnya tidak banyak berbeda dengan bahasa
yang di Raya, dan bahasa Simalungun masih dijadikan sebagai bahasa ibu
oleh orang Simalungun kebanyakan. Meski dikatakan dapat pengaruh Melayu,
hal itu sangat sedikit sekali dan tidak begitu menonjol, tidak seperti
yang dialami oleh penutur bahasa Simalungun lainnya, yang dalam
berbicara lebih menonjol Tobanya daripada Simalungunnya atau lebih
menonjol Karonya daripada Simalungunnya.
Tapi
yang disayangkan di daerah yang banyak berpenduduk Jawa seperti di
Kecamatan Bandar Huluan, Siantar Hilir (Gunung Malela, Gunung Maligas,
Tapian Dolog), Dolog Batu Nanggar, dan sekitarnya; akibat kerapnya
mengadakan komunikasi, bahkan sampai menjalin hubungan persaudaraan
dalam bentuk pernikahan dengan suku Jawa tersebut, maka tidak dapat
dipungkiri jikalau orang Simalungun di daerah ini malah banyak
men-Jawakan diri dan hal itu terjadi pada era belakangan ini di mana
jumlah mereka (suku Jawa) semakin signifikan.
Dalam
bahasa Simalungun terdapat sejumlah fonem yang jarang ditemukan pada
bahasa batak yang lain. Fonem-fonem itu ada yang berbentuk konsonan dan
ada pula berbentuk diftong. Fonem-fonem itu adalah /ou/, /ei/, dan /ui/;
/h/, /d/, /g/, dan /b/, dan semuanya terletak pada akhir kata. Di
samping bahasa Simalungun, fonem /ou/, /ei/, dan /ui/ ini juga banyak
dijumpai pada bahasa-bahasa rumpun Melayu, Karo, Alas di Aceh Tenggara,
dan Keluet di Aceh Selatan. Fonem /ou/, /ei/, dan /ui/ ini dalam bahasa
Simalungun disebut dengan anak ni surat atau diakritik, hanya Simalungunlah yang mengenal diakritik khusus untuk fonem-fonem ini, yang masing-masing bernama hatulungan, hatalingan, dan hatuluyan.
Fonem
berdiftong /ou/ juga terdapat pada aksara Karo, tetapi tidak pada
aksara-aksara Batak lainnya. Namun di Karo, tidak terdapat diakritik
khusus untuk fonem /ou/, dan penggunaannya hanya terbatas pada bahasa
Karo yang berdialek Jahe-jahe yang bermukim di Deli Serdang dan Langkat,
tidak meluas hingga ke dialek Karo yang lain yang memang bermukim di
pusat daerah Karo, seperti dialek Kabanjahe dan Gunung.
Bahasa
Alas dan Keluet yang sudah tidak memiliki aksara asli seperti di tanah
Batak dan telah digantikan dengan aksara Jawi atau Arab Melayu, sehingga
sulit menjelaskan keberadaan fonem-fonem berdiftong tersebut. Kendati
demikian, bahasa Alas dan Keluet sebenarnya adalah wujud dari kombinasi
bahasa Pakpak, Karo, Simalungun, Aceh, dan Melayu. Jadi bila ditelusuri
bentuk dari aksara aslinya yang kini telah punah kemungkinan tidak jauh
berbeda dengan aksara Karo dan Simalungun.
Dalam bahasa Simalungun, fonem /ou/ dapat dilihat pada kata horbou, pisou, magou, kahou, sopou, lahou, lopou, babou, dan dilou. Kemudian fonem /ei/ pada kata lobei, hitei, bogei, dogei, atei, dan buei. Selanjutnya fonem /ui/ terdapat pada kata tondui, langui, apui, sungui, babui, ampodui, surui, dan haluhui. Selanjutnya dalam bahasa Alas, yaitu pada kata endou, enggou, idou, benei, melohei, awei, kelukui, tendui, dan apui. Dalam bahasa Keluet yang hanya mengenal fonem /ou/ dan /ei/ saja, yaitu pada kata kou, kerbou, tangkou, benei, kunei, awei, atei, dan mbuei. Sedang dalam bahasa Karo, yaitu pada kata dilou, belou, sapou, rimou, ayou, namou, payou, matei, berei, isei, keina, benei, dan lumei. Bila dilihat padanannya dengan bahasa bahasa Batak yang lain (Toba, Mandailing-Angkola, Pakpak) fonem /ou/ biasa berbunyi /o/ seperti pada kata-kata berikut horbo, piso, mago, sopo, laho, babo, tangko, dan dilo; /ei/ berbunyi /e/ seperti kata lebe, hite, bege, dege, ate, dan mbue; dan /ui/ berbunyi /i/ seperti katatondi, langi, api, babi, suri, dan halihi.
Selain itu bahasa Simalungun juga mengenal fonem akhir /h/ seperti pada kata daroh, babah, roh, dilah, soh, dan gogoh;
fonem ini tidaklah khusus dalam bahasa Simalungun, karena fonem akhir
ini juga terdapat pada bahasa Pakpak, Karo, Alas, dan Keluet; tetapi
tidak untuk bahasa Toba, Mandailing, dan Angkola mereka tidak mengenal
sedikitpun akan penggunaan fonem ini, bagI mereka kata daroh akan berbunyi daro, babah akan berbunyi baba, roh akan berbunyi ro,dilah akan berbunyi dila, dan gogoh akan berbunyi gogo.
Bila ditelusuri lebih jauh fonem /ou/, /ei/, /ui/, dan /h/ ini
merupakan fonem warisan langsung dari bahasa Austronesia kuno yang telah
lama punah. Sebagaimana kita ketahui bahasa Austronesia kuno ini
merupakan bahasa induk yang menurunkan seluruh bahasa di sebagian besar
kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Voorhoeve
(1955) pernah mengemukakan bahwa bahasa Simalungun juga mengenal fonem
penutup /d/, /g/, dan /b/, yang juga tidak terdapat di antara kosa kata
bahasa Batak yang lain. Fonem penutup ini masih tampak sekali dalam
beberapa kata, baik itu diucapkan maupun ditulis. Fonem /d/ terdapat
pada kata bod, saud, tuod, agad, sogod, bagod, sarad, dan alud. Sedang fonem akhir /g/ pada kata dolog, pusog, balog, gijig, ubag, lanog, gilog, borgog, bolag, bogbog, pag, dan ulog. Kemudian fonem akhir /b/ pada kata dob, rongkob, dorab, tayub, dan sab. Pada bahasa Pakpak dan Karo /d/ berubah menjadi /n/, dan /g/ menjadi /ng/, seperti kata bod menjadibon/ben, saud menjadi sahun, tuod menjadi tiwen, sogod menjadi cegen, sarad menjadi saran, dan alud menjadi alun.
Kemudian kata dolog menjadi deleng, pusog menjadi puseng, balogmenjadi baleng, lanog menjadi laneng, borgog menjadi bergeng, bolag menjadi belang, dan pagmenjadi pang.
Sedang fonem /b/ belum dapat ditentukan bentuk perubahannya. Dan bentuk
ini menurut Voorhoeve lebih dekat kepada bahasa Sanskerta yang banyak
mempengaruhi bahasa-bahasa Nusantara. Sementara dalam bahasa Batak yang
lain (Toba, Mandailing-Angkola) fonem /d/ berbunyi /t/ seperti tampak
pada kata-kata berikut *bod–bot, *saud–saut, *tuod–tot, *agad–agat, *sogod–sogot, *bagod–bagot, *sarad–sarat, dan *alud–arut; /g/ berbunyi /k/ seperti*dolog–dolok, *balog–balok, *lanog–lanok, *bolag–bolak, dan *ulog–ulok; sedang fonem b belum dapat ditentukan bentuk perubahannya.
Gorys
Keraf dalam bukunya Linguistik Bandingan Historis mengemukakan, bahwa
fonem /d/, /g/, dan /b/ merupakan fonem yang dianggap bermasalah dalam
beberapa bahasa, tidak hanya pada bahasa Nusantara, tetapi juga pada
bahasa di Eropa. Karena fonem /d/, /g/, dan /b/ ini secara deskriptif
biasanya mengalami proses netralisasi ketika berada di posisi akhir, dan
berganti dengan fonem /t/, /k/, dan /p/. Padahal sebenarnya fonem
tersebut dapat muncul dalam posisi awal, tengah, dan akhir. Hal itulah
yang menjadi masalah, karena saat ini banyak bahasa yang tidak lagi
menampilkan gejala tersebut. Timbul pertanyaan, mengapa bahasa
Simalungun masih menampilkan gejala tersebut?.
Selanjutnya
bila ditinjau dari keaslian bahasa, pada hakikatnya tiada satupun
bahasa di nusantara bahkan di dunia yang bisa dikatakan asli atau masih
menunjukkan keasliannya, maksud asli di sini bahasa itu memang
dihasilkan atau diciptakan secara murni dan utuh oleh pengguna bahasa
itu. Karena memang jauh sebelum manusia dan bahasa tumbuh dan berkembang
pesat seperti sekarang ini, keaslian bahasa itu memang telah
terkontaminasi. Proses kontaminasi yang berdampak pada pudarnya keaslian
bahasa itu dipicu oleh adanya akulturasi atau hubungan antara manusia
dengan manusia atau bahasa dengan bahasa yang saling berbeda, hal ini
berefek pada percampuran budaya atau bahasa. Bahasa Indonesia saja yang
semula asli karena hanya terdapat bahasa Melayu di dalamnya, kini
perlahan telah mengalami kepudaran, karena pada saat ini bukan hanya
bahasa Melayu saja yang terkandung didalamnya tetapi telah banyak
dimasuki unsur-unsur bahasa nusantara yang lain, seperti bahasa
Minangkabau, Jawa, Sunda, Palembang, dan lain-lain. Masuknya unsur
bahasa yang lain itu sebenarnya tidak lain hanya untuk melengkapi atau
memperkaya khazanah perbendaharaan kata bahasa Indonesia, dan kondisi
ini memang tidak perlu dipermasalahkan, karena bahasa Indonesia ‘kan
bukannya bahasa yang dimiliki oleh eka-suku atau dwi-suku melainkan
dimiliki oleh multi-suku yang semuanya berhak menyumbangkan bahasa
sukunya untuk memperkaya bahasa Indonesia. Dan proses itu merupakan
peluang yang nantinya dapat dipergunakan oleh orang Batak khususnya
orang Simalungun untuk menjadikan bahasanya menjadi bagian dari bahasa
Indonesia.
Kendati
tampak banyak perbedaan dengan bahasa Batak yang lain, namun eksistensi
bahasa Simalungun takkan terlepas dari bahasa di sekelilingnya. Bahasa
Simalungun takkan dapat menarik diri bila dikatakan memiliki kesamaan
yang besar dengan bahasa Toba, Mandailing, dan Angkola sebagai Rumpun
Selatan. Dan tidak dapat disangkal pula bila bahasa Simalungun banyak
memiliki kesamaan dengan bahasa Pakpak, Karo, Alas, dan Keluet sebagai
Rumpun Utara. Dalam bahasa Karo saja terdapat sekitar 80% kesamaan
dengan bahasa Simalungun. Mengapa terjadi demikian? karena bahasa
Simalungun dilihat dari posisinya berdiri di antara kedua rumpun
tersebut (Voorhoeve: 1955). Namun menurut Adelaar (1981), meski demikian
bahasa Simalungun sebenarnya adalah salah satu cabang dari bahasa
rumpun selatan, yang berpisah dengan bahasa Toba, Mandailing, dan
Angkola sebelum bahasa itu terbentuk. Dari ungkapan Adelar itu, berarti
bahasa Simalungun telah ada sebelum bahasa rumpun selatan lain terbentuk
yang kemudian berpisah. Hal itu sesuai dengan Kozok (1999:14) yang
menegaskan bahwa jika ditilik dari persebaran bahasa dan aksara Batak,
bahasa dan aksara Simalungun jauh lebih tua daripada bahasa dan aksara
Batak Toba, Pakpak, dan Karo.
Sumber:
https://masrulpurba.wordpress.com/2009/09/14/bahasa-simalungun-dialek-dan-aksara/