Pemekaran Kabupaten Tapanuli TengahFeatured Post

Thursday, 28 February 2013

Batak Simalungun Jahei di Kab. Serdang Bedagai (English Version)

SUKU BATAK TIMUR
DI KAB. SERDANG BEDAGAI

By: Wendy Hutahaean


Suku Batak Timur atau disebut juga suku Simalungun Bawah adalah salah satu dari suku Batak yang mendiami wilayah kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Tebing Tinggi di provinsi Sumatera Utara. Akar budaya suku Batak Timur ini adalah budaya Batak Simalungun yang banyak dipangaruhi oleh budaya Melayu Serdang yang Islami. Kekerabatan penduduk suku Batak Timur ini masih dapat ditelusuri dengan suku Batak Simalungun di Kabupaten Simalungun.

Traditional Clothes of Batak Simalungun Serdang

Di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai dulu pernah berdiri dua kerajaan besar yaitu  Kesultanan Serdang dan Kerajaan Padang Bedagai. Kedua Kerajaan ini didirikan oleh keturunan Batak Simalungun. Namun, corak budaya kedua kerajaan ini adalah budaya Melayu disebabkan raja yang memerintah sudah memeluk agama Islam dan menghapus budaya Simalungun dalam kehidupan pemerintahannya. Jadi dapat dismpulkan bahwa sebenarnya penduduk di Kabupaten Serdang Bedagai adalah penduduk berdarah Batak Simalungun yang berbudaya Melayu dan beragama mayoritas Islam.


Traditional House of Batak Simalungun Serdang


A. Pendirian Kerajaan Padang oleh Tuanku Dasalak Saragih


Mengikuti silsilah Saragih Garingging, Saragih Dasalak dimulai dari putra Raja Nengel yaitu Tuan Mortiha. Menurut ‘Turiturian’ yang lain Dasalak adalah nama, Yaitu berita Raja menemukan seorang bayi di atas rumpun Bambu saat sedang berburu ke hutan, yang disebut juga “Jolma napultak humbai buluh”. Lalu anak bayi itu diberi nama : Dasalak lahir tahun berkisar 1690, selisih umur 1 tahun dengan Raja Bolon. Permaisuri sangat sibuk dengan pekerjaan mengurus kedua bayi yang masih kecil itu, walaupun dibantu dengan kalangan istana.

Pertumbuhan kedua anak itu berjalan dengan baik,terlihat kemiripan mereka seolah olah kembar, karena kecerdasan dan perawakan mereka hampir sama. Sejak berumur 9 tahun kedua anak itu masing2 diberikan permainan Gasing. Raja Bolon diberi Gasing yang terbuat dari emas,sedangkan si Dasalak terbuat dari perak. Dengan demikian,dari jauh sudah bisa dibedakan yang mana Raja Bolon dan yang mana Dasalak. Di kisah lain Dasalak bermula dari “Mardawam Begu” (hubungan semarga hingga melahirkan anak) oleh Raja Nengel. Dari sinilah muncul Kerajaan atau pun Kejeruan Padang di Tebing Tinggi sekitarnya. Bahkan WHM Schadee dalam Geschiedenis van Sumatra’s Ooskust, deel I (Sumatra Instituut Amsterdam 1918) hal 104, bahwa terjadi ceritera pada suatu tahun Kesawan dirampas oleh Kejeruan Padang. Turunan kelima dari Kejeruan Padang ini bernama Panglima Amal. Sedang Panglima Amal ini menjadi Sultan dengan akta Sultan Siak pada 8 Maret 1814. John Anderson saat berkunjung ke Deli pada 1823 juga bertemu dengan Panglima Amal yang telah menjadi Sultan.

Jika dikatakan bahwa Kesawan pernah dirampas Kejeruan Padang, yang turunan kelimanya adalah Panglima Amal, kita hitung saja satu generasi adalah 30 tahun dengan patokan tahun eksiistensi Panglima Amal adalah 1814, maka 1814 – (5 x 30) = 1664. Jadi berkisar tahun 1664 Kejeruan Padang di Tebing Tinggi sudah ada dan sudah dikenal. Kita tidak menemukan nama kejeruan Padang seperti penjelasan WHM Schadee, selain Padang di Tebing Tinggi sekitarnya ini.

Menurut penuturan orang-orang tua tempatan, berbagai rujukan dan catatan Putra Praja (1-1-1964), kisah Kerajaan Padang di Tebing Tinggi dimulai dari Raja:

·         Tuhan Hapultakan (dikenal juga dengan nama Tuan Oemar Baginda Saleh Komar)
·         Marah Sudin
·         Raja Saladin
·         Raja Adam
·         Raja Syahdewa
·         Raja Sidin
·         Raja Tebing Pangeran (1806-1823)
·         Marah Hakim (Raja Geraha 1823-1870)
·         Maharaja Muda Haji Muhammad Nurdin (Wazir Negeri Padang 1870-1914)
·         aja Alamsyah (1928-1931)
·         Raja Ismail (1931-1933)
·         Raja Hassim (1933-1946)

Tuhan Hapultakan (dikenal juga dengan nama Tuan Oemar Baginda Saleh Komar) yang ber-’Pamatang’ di Bajenis – Tebing Tinggi. Tuhan Hapultakan – Saragih Dasalak gelar Tuan Oemar Baginda Saleh Komar memiliki 4 putra yaitu Marah Ledin, Marah Sudin, Marah Alimaludin, Marah Adam; serta seorang putri, yaitu Puang Jaenap. Setelah Tuhan Hapultakan – Saragih gelar Tuan Oemar Baginda Saleh Komar mangkat, abad 16, Raja beralih kepada Marah Sudin. Marah Alimaludin memperluas wilayah di sekitar Pabatu hingga watas Dolog Marlawan. Putra Marah Sudin, yaitu Marah Saleh Safar membentuk wilayah Mandaris hingga watas Tanjung Kasau. Putra yang lain, Sutan Ali menguasai wilayah Bulian. berikutnya beraja pula Tuan Marah Saladin yang terpusat di Bulian. dizamannya terkisah banyak jejayaan, meski umur beliau tidak panjang. Setelah itu dirajakan Marah Adam, dan 1780 berganti ke Syahdewa, selanjutnya Raja Sidin, Raja Pangeran. Dizaman Raja Pangeran dan dibantu Raja Syahbokar ini, saudara-saudaranya dari Saragih Garingging banyak berdatangan untuk berdagang di Tebing Tinggi, seperti berdagang Getah Balata dan lainnya. Dizaman ini pula dibangun pelabuhan armada laut di Bandar Khalifah. Karena Kerajaan Padang yang berpusat di Bulian – Tebing Tinggi menjadi makmur, Deli mulai ingin mengadakan ekspansi. Raja Pangeran & Syahbokar memanggil garis turunan Raja Bolon – Saragih Garingging, yang dikenal Parmata (memiliki ‘kemampuam linuwih’ ) yaitu Putra Tuan malayu, yaituTuan Jaamta untuk membantu beliau mengatasi upaya ekspansi Deli. Deli dengan bantuan Bedagai melakukan penyerangan, yang juga melibatkan Panglima Daud, seorang bangsawan ksatria berdarah Bugis.


Raja Padang menugaskan Tuan Jaamta Malayu untuk memimpin perlawanan. Tuan Jaamta yang Parmata ini memimpin peperangan hingga Deli & Bedagai sebagai sekutunya sangat kewalahan. Peperangan yang dipimpin Jaamta Malayu itu hingga ke wilayah dekat Penggalangan. Deli kalah telak hingga wilayah itu banjir darah; ibarat sungai dengan darah kering yang menghitam, hingga tempat itu selanjutnya lebih popular disebut Bah Birong (kini disebut Sei Berong – pinggiran luar Tebing Tinggi) Usai perang tersebut Raja Raya memanggil kembali Jaamta Malayu. Kesempatan ini dimanfaatkan Deli untuk menawarkan musyawarah damai kepada Raja Pangeran . Raja menyanggupi, dan perundingan disepakati di daerah Bandar Khalifah.

Sesampainya di Kampung Juhar – Bandar Khalifah, ternyata Panglima Daud sudah menghadang dan menghunuskan Keris ke perut Raja Pangeran. Saat itu pula Raja Pangeran tewas. Diceritakan bahwa Keris yang dipakai untuk membunuh Raja Pangeran adalah keris leluhur Saragih Dasalak yang dicuri Panglima Daud saat ia masih berhubungan baik dengan Raja Syahbokar. Kerajaan Padang selanjutnya dipimpin turunan Puang Jaenap, yaitu Marah Hakum yang dibantu pula oleh para pembesar semasa Raja Pangeran , sebut saja Orang Kaya Bakir yang sebelumnya memegang jabatan Bendahara. Raya memberi gelar Raja Goraha bagi Marah Hakum, karena ia bukan asli Partuanon Simalungun, karena ayahnya adalah berasal dari Barus. Di zaman Raja Goraha 1823 – 1870 (orang Tebing Tinggi menyebutnya Raja Geraha) ini, Raja mengangkat ‘Orang-Orang Besar’ yang dianggapnya berjasa di Kerajaan Padang – Tebing Tinggi, untuk membantu kepemerintahannya, Misalnya, Tuan Rambutan, Syahimbang Saragih (Selanjutnya digelari Orang Kaya Syahimbang), Jaamta Malayu Saragih (selanjutnya digelari Tengku Jaamta Malayu – Penasihat Raja), Datuk Alang dan lainnya. Pemerintahan selanjutnya dipimpin Raja-Raja: Mahraja Muda Mohammad Nurdin (1870-1914), Raja Alamsyah (1928-1931), Raja Ismail (1931-1933), Raja Hassim (1933-1946). Meski Deli pernah berekspansi dalam pemerintahan langsung dengan mengirim wakilnya, yaitu Tengku Sulaiman (1885-1888) dan Tengku Djalaluddin (1914-1928), masa itu Raja-Raja Padang di Bulian Tebing Tinggi diturunkan kedudukannya oleh Deli dengan sebutan Wazir.

B. Pendirian Tebing Tinggi oleh Datu Bandar Kajum Damanik


Riwayat menceritakan, bahwa ada seseorang dari Bandar berpuak Simalungun bernama Datuk Bandar Kajum meninggalkan kampungnya melawat ke daerah Padang, bersama-sama keluarga dan pengikut-pengikutnya, karena diserang kerajaan lain. Mula-mula mereka menempati sebuah kampung yang bernama Tanjung Marulak diwilayah Tuan Rambutan – daerah Kebun Rambutan. Di Tanjung Marulak inipun mereka mendapat serangan dari Kerajaan Raya, kemudian Datuk Bandar Kajum (marga Damanik) mencari tempat tinggal di atas dataran tinggi di pinggir sungai Padang.

Bersama dengan beberapa pengikutnya Datuk Bandar Kajum mendirikan rumah dan kampung yang di pagari dengan kayu yang kokoh di Tebing tepi sungai Padang, dibuatnya tempat pertahanan gunanya untuk menahan serangan musuh kalau datang menyerbu kampungnya. Pada suatu ketika puluhan orang dari Raya datang menyerang kampung Datuk Bandar Kajum, melihat musuh yang datang, seluruh keluarga Datuk Bandar Kajum dan orang-orang di kampung itu melarikan diri mengungsi ke kebun Rambutan.

Diceritakan, Datuk Bandar Kajum memperoleh bantuan dari administratur kebun Rambutan, sehingga Datuk Bandar Kajum dapat mengalahkan orang-orang dari Raya dan pimpinan pasukannya dapat ditawan. Kemudian Datuk Bandar Kajum dan keluarganya bersama pengikut-pengikutnya kembali ke kampung yang telah dibangunnya, di dataran tinggi pertemuan sungai Padang dan sungai Bahilang. Di tempat itu pernah dibangun pelataran tempat sampan berlabuh dan tempat sampan ditambatkan. Tempat itu kemudian terus berkembang menjadi tempat pemukiman dan pemakaman Datuk Bandar Kajum dan keluarga serta pengikut-pengikutnya. Itulah asal usul Kota Tebing Tinggi yang sekarang disebut Tebing Tinggi Lama.


Wilayah Suku Batak Simalungun di Kabupaten Serdang Bedagai beberapa kecamatan yaitu:

1. Kec. Bintang Bayu
2. Kec. Dolok Masihul
3. Kec. Dolok Merawan
4. Kec. Kotarih
5. Kec. Pegajahan
6. Kec. Sei Bamban
7. Kec. Sei Rampah
8. Kec. Serba Jadi
9. Kec. Silinda
10. Kec. Sipispis
11. Kec. Tebing Syahbandar
12. Kec. Tebingtinggi

Dalam proporsi yang kecil, suku Batak Simalungun juga bermukim di wilayah Suku Melayu Serdang yang terdiri dari beberapa kecamatan, antaralain:

1. Kec. Pantai Cermin
2. Kec. Perbaungan
3. Kec. Teluk Mengkudu
4. Kec. Tanjung Beringin
5. Kec. Bandar Khalipah


Wilayah Kerajaan Bedagai ini sendiri meliputi Tanjung Beringin, Sei Rampah, Teluk Mengkudu, Dolok Masihul dan Bandar Khalifah, yang pusat kerajaannya berkedudukan di Bedagai yang Rajanya diberi Gelar Pangeran Sulung Laut. Bagian-bagian wilayah kerajaan Padang Bedagai masing-masing dikepalai oleh seorang datuk, dan datuk tanjung beringin diberi gelar datuk Sri Amar Asmara. 

SEJARAH KECAMATAN DOLOK MERAWAN

Dahulu wilayah Dolok Merawan adalah merupakan wilayah pertanian yang subur dan masih berbentuk Kerajaan. Raja  yang berkuasa pada saat itu bernama Tuan Tohu Alam. Raja Tuan Tohu Alam mempunyai 2 (dua) orang putra yaitu:
  • Raja Tuan Porang Laut
  • Raja Tuan Biong
Pada tahun 1908 tahta kerajaan di pimpin oleh Putra pertamanya Raja Tuan Porang Laut, dengan menggunakan bahasa pengantar Kerajaan Bahasa Simalungun, tidak lama beliau berkuasa datanglah sekelompok pasukan yang menyerang Dolok Merawan di bawah kepemimpinan Raja Raya, akibat serangan tersebut Raja Tuan Porang Laut tak berdaya, maka kemudian beliau meminta bantuan Raja Sultan Deli dengan beberapa perjanjian sebagai berikut :
  • Raja Tuan Porang Laut harus sanggup membayar biaya serdadu yang diturunkan.
  • Raja Tuan Porang Laut harus takluk kepada Kerajaan Padang Bedagai.
Sesudah perjanjian tersebut disetujui kedua belah pihak, maka Raja Sultan Deli menurunkan serdadunya sebanyak 12 orang. Namun Raja Tuan Porang Laut tidak mampu membiayai serdadu yang diturunkan Raja Sultan Deli. Oleh karena itu beliau kemudian meminta bantuan kepada TJONG AFIE, sehingga akhirnya Raja Raya dapat di usir dari wilayah Dolok Merawan. Pada tahun 1933 Raja Tuan Porang Lautmeninggal dunia, dan sejak itu pula Tahta Kerajaan digantikan oleh adiknya yang bernama Raja Tuan Biong (Putra kedua dari Raja Tuan Tohu Alam) yaitu sejak tahun 1933 s/d 1947. Perjanjian yang telah disepakati oleh Raja Tuan Porang Laut dengan Raja Sultan Deli dan TJONG AFIE ditagih kepada Raja Tuan Biong yang memimpin Tahta saat itu, maka Raja Tuan Biong membayar hutang tersebut dengan memberikan tanah Sibulan seluas + 16 Km2. Sejak meninggalnya Raja Tuan Biong (1947) digantikan oleh Raja Tuan Ayok (tahun 1948) dan sejak saat itu kerajaan Dolok Merawan berganti menjadi bentuk Kewedananaan atau Kecamatan sekarang.

SEJARAH NAMA
  • Nama di Daerah: Dolok Merawan
  • Nama lainBajalingge
  • Nama yang dipakai: Dolok Merawan
Sejarah nama: Nama Kecamatan Dolok Merawan berasal dari bahasa Simalungunyaitu Dolok Marlawan yang berarti Bukit Perlawanan, timbulnya nama tesebut karena daerah Dolok Merawan ini merupakan daerah perlawanan antara Raja Raya dengan Raja Dolok Batu Nanggar. Adapun penyebab peperangan tersebut karena Raja Dolok Batu Nanggar mengambil anak gadis dari Raja Raya tanpa melakukan peradatan secara adat Simalungun.

Traditional Dance of Batak Timur

Wilayah kekuasaan Kesultanan Serdang meliputi Batang Kuis, Padang, Bedagai, Percut, Senembah, Araskabu dan Ramunia. Kemudian wilayah Perbaungan juga masuk dalam Kesultanan Serdang karena adanya ikatan perkawinan.1
Sejarah
Pendirian kerajaan Deli
Menurut riwayat, seorang Laksamana dari Sultan Iskandar Muda Aceh bernama Sri Paduka Gocah Pahlawan, bergelar Laksamana Khoja Bintan, menikah dengan adik Raja Urung (negeri) Sunggal, sebuah daerah Batak Karo yang sudah masuk Melayu (sudah masuk Islam). Kemudian, oleh 4 Raja-Raja Urung Batak Karo yang sudah Islam tersebut, Laksamana ini diangkat menjadi raja di Deli pada tahun 1630. Dengan peristiwa itu, Kerajaan Deli telah resmi berdiri, dan Laksamana menjadi Raja Deli pertama. Dalam proses penobatan Raja Deli tersebut, Raja Urung Sunggal bertugas selaku Ulon Janji, yaitu mengucapkan taat setia dari Orang-Orang Besar dan rakyat kepada raja. Kemudian, terbentuk pula Lembaga Datuk Berempat, dan Raja Urung Sunggal merupakan salah seorang anggota Lembaga Datuk Berempat tersebut.1
Kemelut di tubuh kerajaan Deli
Dalam perkembangannya, pada tahun 1723 terjadi kemelut ketika Tuanku Panglima Paderap, Raja Deli ke-3 mangkat. Kemelut ini terjadi karena putera tertua Raja yang seharusnya menggantikannya memiliki cacat di matanya, sehingga tidak bisa menjadi raja. Putera nomor 2, Tuanku Pasutan yang sangat berambisi menjadi raja kemudian mengambil alih tahta dan mengusir adiknya, Tuanku Umar bersama ibundanya Permaisuri Tuanku Puan Sampali ke wilayah Serdang.1
Menurut adat Melayu, sebenarnya Tuanku Umar yang seharusnya menggantikan ayahnya menjadi Raja Deli, karena ia putera garaha (permaisuri), sementara Tuanku Pasutan hanya dari selir. Tetapi, karena masih di bawah umur, Tuanku Umar akhirnya tersingkir dari Deli. Untuk menghindari agar tidak terjadi perang saudara, maka 2 Orang Besar Deli, yaitu Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembal, bersama seorang Raja Urung Batak Timur di wilayah Serdang bagian hulu (Tanjong Merawa), dan seorang pembesar dari Aceh (Kejeruan Lumu), lalu merajakan Tuanku Umar sebagai Raja Serdang pertama tahun 1723. Sejak saat itu, berdiri Kerajaan Serdang sebagai pecahan dari Kerajaan Deli.1
Periode pemerintahan
Penggabungan dengan Perbaungan
Kerajaan Serdang berdiri lebih dari dua abad, dari 1723 hingga 1946. Selama periode itu, telah berkuasa 5 orang Sultan. Sultan Serdang I adalah Tuanku Umar, kemudian ia digantikan oleh Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah (1767-1817). Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah beristerikan Tuangku Sri Alam, puteri Raja Perbaungan. Di masa Sultan Ainan Johan ini, terjadi penyatuan Kerajaan Serdang dan Perbaungan. Ceritanya, sewaktu Raja Perbaungan meninggal dunia, tidak ada orang yang berhak menggantikannya, sebab ia tidak memiliki anak laki-laki. Oleh karena anak perempuan Raja Perbaungan menikah dengan Sultan Serdang, maka akhirnya, Kerajaan Perbaungan digabung dengan Serdang. Jadi, penggabungan ini berlangsung semata-mata karena adanya hubungan kekerabatan, bukan karena peperangan.1
Putera Ainan Johan Almashah yang tertua, Tuangku Zainal Abidin, diangkat menjadi Tengku Besar. Suatu ketika ia pergi berperang membantu mertuanya yang sedang terlibat perang saudara merebut tahta Langkat. Dalam peperangan membela mertuanya tersebut, ia terbunuh di Pungai (Langkat) dan digelar Marhom Mangkat di Pungai (1815). Untuk menggantikan putera mahkota (di Serdang disebut Tengku Besar) yang tewas, maka, adik putera mahkota, yaitu Tuanku Thaf Sinar Basyarshah kemudian diangkat sebagai penggantinya, dengan gelar yang sama: Tengku Besar.1
Sultan Thaf Sinar Basyar Syah
Ketika Sultan Johan Alamshah mangkat tahun 1817, adik Tuangku Zainal Abidin, yaitu Tuanku Sultan Thaf Sinar Basarsyah (memerintah 1817-1850) diangkat oleh Dewan Orang Besar menjadi raja menggantikan ayahnya. Ketika itu, sebenarnya Tuanku Zainal Abidin, Tengku Besar yang sudah tewas, memiliki putera, namun puteranya ini tidak berhak menjadi raja, sebab, ketika ayahnya meninggal dunia, statusnya masih sebagai Tengku Besar, bukan raja. Jadi, menurut adat Melayu Serdang, keturunan putera tertua tidak otomatis menjadi raja, karena sebab-sebab tertentu.1
Dikuasai Belanda dan bergabung dengan Indonesia
Demikianlah, pemerintahan baru berganti dan keadaan terus berubah. Pada tahun 1865, Serdang ditaklukkan oleh Belanda. Selanjutnya, pada tahun 1907, Serdang menandatangani perjanjian dengan Belanda yang melarang Serdang berhubungan dengan negeri luar. Setelah bertahun-tahun dalam pengaruh Belanda, akhirnya, pada tahun 1946, pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamshah, Serdang bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.1
Struktur pemerintahan
Raja pertama
Struktur tertinggi di Kerajaan Serdang dipimpin oleh seorang Raja. Pada masa itu, peranan seorang raja adalah:1
  1. Sebagai Kepala Pemerintahan Kerajaan Serdang.
  2. Sebagai Kepala Agama Islam (Khalifatullah fi’l ardh)
  3. Sebagai Kepala Adat Melayu.
Lembaga Orang Besar Berempat
Pada masa pemerintahan raja yang ke-2, Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah (1767-1817), tersusunlah Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang yang berpangkat Wazir Sultan, yaitu:1
  1. Raja Muda (gelar ini kemudian berubah menjadi Bendahara)
  2. Datok Maha Menteri (wilayahnya di Araskabu)
  3. Datok Paduka Raja (wilayahnya di Batangkuwis) keturunan Kejeruan Lumu
  4. Sri Maharaja (wilayahnya di Ramunia).
Pembentukan Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang ini, disebabkan Raja Urung Sunggal kembali ke Deli, sementara Raja Urung Senembah dan Raja Urung Tg. Merawa tetap menjadi raja di wilayah taklukan Serdang.
Sultan Ainan Johan Almashah memperkokoh Lembaga Empat Orang Besar di atas berdasarkan fenomena alam dan hewan yang melambangkan kekuatan, seperti 4 penjuru mata angin (barat, timur, selatan, utara), kokohnya 4 kaki binatang dan azas Tungku Sejarangan (4 batu penyangga untuk masak makanan). Lembaga itu juga melambangkan sendi kekeluargaan pada masyarakat Melayu Sumatera Timur yaitu: suami, isteri, anak beru (menantu) dan Puang (mertua). Demikianlah, pembentukan lembaga di atas didasarkan pada akar budaya masyarakat Serdang sendiri. Selanjutnya, lembaga inilah yang berperan dalam upacara perkawinan maupun perhelatan besar.1
Jabatan lainnya
Selain para pejabat istana di atas, Sultan juga dibantu oleh Syahbandar (perdagangan) dan Temenggong (Kepala polisi dan keamanan). Sultan Serdang menjalankan hukum kepada rakyat berdasarkan Hukum Syariah Islam dan Hukum Adat seperti kata pepatah, “Adat bersendikan Hukum Syara, Hukum Syara’ bersendikan Kitabullah”.1
Penguasa/Sultan
Penguasa
Kepala Rumah Tangga
  • 1946-1960 Tuanku Rajih Anwar ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Tengku Putra Mahkota, Kepala Rumah Tangga Istana Serdang
  • 1960-2001 Sri Sultan Tuanku Abu Nawar Sharifu'llah Alam Shah al-Haj ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Sultan dan Kepala Rumah Tangga Istana Serdang
  • 2001 Sri Sultan Tuanku Lukman Sinar Bashar Shah II ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Sultan dan Kepala Rumah Tangga Istana Serdang


Sumber:
1.    http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Serdang_Bedagai
2.    http://www.kerajaannusantara.com/id/kesultanan-serdang/busana


 Melayu Serdang Dance - Tari Serampang XII

 Melayu Serdang Song - Zapin Serdang

The Land of Gayo

THE LAND OF BATAK GAYO
By: Wendy Hutahaean


The Karo, or Karonese, are a Batak people of the 'tanah Karo' (Karo lands) of North Sumatra and a small part of neighbouring Aceh. The Karo lands consist of Karo Regency, plus neighbouring areas in East Aceh Regency, Langkat Regency, Dairi Regency, Simalungun Regency and Deli Serdang Regency.1 In addition, the cities of Binjai and Medan, both bordered by Deli Serdang Regency, contain significant Karo populations, particularly in the Padang Bulan area of Medan. The town of Sibolangit, Deli Serdang Regency in the foothills on the road from Medan to Berastagi is also a significant Karo town.

A.   Area of Batak Gayo Lut

Kabupaten Karo is the home of Batak Karo Ethnic. The people who live around Sinabung Mount and Sibayak Mount name the area as Taneh Karo Kenjulu. They have some differences in costum and habbit compare to other Batak Karo people. The area consists of:

1.    Kec. 
2.    Kec. 
3.    Kec. 
4.   Kec. 
5.    Kec. 
6.    Kec. 
7.    Kec. 


B.   Area of Batak Gayo Deret (Linge)

Batak Karo people who live in western area of Sinabung Mount and Sibayak Mount name the area where they live as Taneh Karo Teruh Deleng. This people have some differences compare to other Batak Karo people. The area consists of some districts of Kabupaten Karo, which are:

1.    Kec. 
2.    Kec. 
3.    Kec. 
4.    Kec. 
5.    Kec. 
6.    Kec. 
7.    Kec. 

C.   Area of Batak Gayo Lues (Belang)

Southern part of Kabupaten Karo is the homeland of Batak Karo Ethnic. They name the place as Taneh Karo Singalor Lau. It covers southern part of Kabupaten Karo, which are:

1.    Kec. 
2.    Kec. 
3.    Kec. 

D.   Area of Batak Gayo Serbajadi (Lokop)

In eastern part of Kabupaten Dairi, on the border with Kabupaten Karo, there are Batak Karo homeland. They name this area as Taneh Karo Baluren. It covers some districts of Kabupaten Dairi, which are:

1.    Kec. 
2.   Kec. 
3.    Kec. 


E.   Area of Batak Gayo Kalul

The people who live in the southern part of Kabupaten Langkat are Batak Karo Ethnic. They name the area  as Taneh Karo Bingei. The area covers some districts (kecamatan) of Kabupaten Langkat, which are:     

1.    Kec. 
2.    Kec. 
3.    Kec. 
4.    Kec. 
5.    Kec. 
6.    Kec. 
7.    Kec. 
8.    Kec. 
9.    Kec. 
10. Kec. 
11. Kec. 


F.    Area of Batak Bebesen

Batak Karo people have already existed in Kabupaten Deli Serdang long time before Melayu People come to that area. They name the area as Taneh Karo Dusun. It is covered some districts in southwest of Kabupaten Deli Serdang, which are:

1.    Kec. 
2.    Kec. 
3.    Kec. 
4.    Kec. 
5.    Kec. 
6.    Kec. 
7.    Kec. 
8.    Kec. 
9.    Kec. 
10. Kec. 

Wednesday, 27 February 2013

Dialek Bahasa Batak Toba


DIALEK BAHASA BATAK TOBA
By: Wendy Hutahaean


Pembinaan dan pembangunan kebudayaan nasional dalambidang kebahasaan dan kesastraan merupakan salah satu masalah kebudayaan nasional yang perlu di bahas dan disosialisasikan dengan sungguh-sungguhdan berencana, sehingga tujuan akhir pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dan bahasa daerah, termasuk sastranya dapat tercapai Sebagaimana kita ketahui Budaya bangsa Indonesia cukup kaya dan beragam terutama dalam sastra dan bahasanya.

Van der tuuk telah menulis tentang Tata bahasa Batak Toba dan kamus Bahasa Batak Toba, seabad yang lalu dalam bukunya "A Grammar of Toba Batak", disusul William K.Percival juga menyusun buku nama nya sama denga tulisan Van der tuuk "A Grammar of Batak Toba" pada tahun 1964, dan kemudian penelitian-penelitian oleh P.W.J.Nababan dengan bukunya berjudul "Toba Batak a Grammatical Description pada tahun 1966, dan banyak lagi tokoh-tokoh penulis dan peneliti Batak dan yang orang asing yang mencintai budaya Batak. Namun didalam pensosialisasian sangatlah minim, meskipun didalam pemerintahan ada suatu lembaga yang menangani masalah kebudayaan.

A. Penggunaan Bahasa Batak Toba

Dalam kenyataan dapat peroleh gambaran bahwa jumlah dialek yang terdapat dalam bahasa Batak Toba cukup beragam. Peranan dan Kedudukan Bahasa bagai Orang Batak toba sangatlah komunikatif terutama dalam bahasa pargaulan sehari-hari dan upacara adat, maksudnya didalam pembicaraan sehari hari atau pembicaraan upacara adat sesama orang batak, sangatlah terasa kekeluargaan kalau mereka memakai bahasa Batak, sesuai dengan prinsip "Dalihan Natolu".

1. Bahasa Batak Toba dalam Upacara Adat

Dalam penggunaan bahasa pada masyarakat Batak umumnya dan Batak Toba Khususnya, akan terlihat keindahan penyajiaan bahasa tersebut, unsur-unsur sastranya akan lebih menonjol, setiap perkataan selalu diselingi dengan umpama (pepatah) danumpasa (pantun), dan disajikan penuh dengan tata kerama (Dalihan Natolu)

2. Bahasa Batak Toba dalam pergaulan sehari-hari

Bahasa BAtak Toba dalam kesehariannya sangatlah fungsional. Pemakaiannya meliputi lingkungan yang sangat luas, hampir disemua tempat dan situasi. Penggunaan Bahsa dalam pergaulan sehari-hari tidaklah sekaku dalam pemakaian dalam Upacara Adat istiadat. Saya katakan kaku, banyak yang pintar berbicara bahasa batak toba belum tentu dapat berbicara di forum upacara adat.

B. Sastra Batak

Sastra Batak terdiri dari sastra Tulisan dan sastra lisan. Yang termasuk sastra Lisan adalah pemakaian bahasa yang bersifat puitis hal ini dapat ditemui dalam upacara Adat: Perkawinan, kematian memindahkan tulang belulang leluhur, dll. Dimana akan ditemui kata-kata dalam kalimat yang sangat puitis, didalam meratapi orang meninggal dia akan berkisah dengan kata-kata yang membuat orang terhanyut sedih karenanya. Juga Umpa dan umpasa akan ditemui disetiap acara adat sebagai contoh;

1. Umpama

" tedek songon indahan dibalanga"
artinya seperti nasi dalam kuali, maksudnya adalah bahwa semua yang telah diutarakan tidak adalagi yang tersembunyi

2. Umpasa:

“Margondang sitidaon, mangan hoda sigapiton. Tu jolo nilangkahon, tupudi sinarihon”.
artinya :Bergendang sitidaon,makan kuda sigapiton, Melangkah kedepan, kebelakang dipikirkan"

3. Mantera:

"Tul tanjung holi ampe tu bulung bira, bisa ni tano bisa ni langit toh,lah,lah,lah,lah,lah,lah"
artinya: Luka pada tulang-tulang ditimpa kedaun talas,bisa tanah,bisa langit menjadi hilang,berkat Allah"

4. Tonggo-tonggo:

Tonggo-tonggo adalah Mantera memanggil arwah nenek moyang untuk meminta berkat dan restu, menunjukkan kebenaran dan arti dari suatu kejadian.

"Hujou,hutonggo hupangalu-alui, sahala ni daompung boru Saniang naga, saniang naga tunggal, saniang naga jae, saniang naga di julu, partintinnaruminis, parsanggul na lumobi,...tumpak ma hami horas,maduma jala gabe"
artinya: " KAmi memanggil, mengundang, dan menjemput semangat dan arwah nenek boru saniang naga(dewa danau toba dan pengairan), saniang naga yang tunggal, saniang naga yang yang berada di hilir dan dihulu yang bercincin banyak dan berkode rapi, berkatilah kami selamat dan bahagia."

5. Andung-andung

Andung-andung (bahasa ratapan , bentuk ini dipakai pada waktumeratapi orang yang meninggal.Kata-kata yang dipergunakan lain dari yang dipakai sehari-hari.

Kata anak disebut menjadi Sinuan tunas artinya Putra
---- boru ---------------- Sinuan beu artinya  Putri
---- amang -------------- Parsinuan artinya Ayah
---- inang -------------- Pangintubu artinya Ibu

Di sisi lain, Sastra tertulis itu adalah berupa ilmu perbintangan atau astronomi, Tarombo (silsilah), ramuan pengobatan tradisional, turi-tirian (cerita dongeng mitos), tulisan tersebut ditulis dengan aksara Batak.

C. Dialek

Yang dimaksud dengan dialek adalah ditandai dengan ciri-ciri khas dalam tata bunyi, kata-kata, ungkapan-ungkapan dan lain-lain. Bahasa adalah rangkaian tutur kata , mangandung makna yang dapat dipahami oleh penuturnya, sedangkan dialek merupakan varian suatu bahasa. Dialek dalam fungsinya ditengah masyarakat merupakan bahasa setempat, dialek yang merupakan bahasa setempat itu bersifat turun temurun. Dialek ini terjadi karena adanya isolasi alami dalam jangka waktu yang lama.

Dialek Bahasa Batak Toba dapat dibagi 5 dialek yaitu : 

1. Dialek Silindung.

Dipergunakan diwilayah : Kecamatan Tarutung, Sipoholon ,Pahae Julu,Pahae JAe, Sipahutar, Pangaribuan dan GAroga. Sedang di Adiankoting dipergunakan dialek Sibolga.

2. Dialek Humbang.

Dipergunakan oleh wilayah Siborong-borong, Dolok sanggul, Lintong ni huta, Muara, Parmonangan, dan Onan Ganjang.Sedangkan di Parlilitan dan Pakkat sebagian mempergunakan bahasa pakpak dairi dan sebagian lagi mempergunakan dialek humbang.

3. Dialek Toba.

Dipergunakan diwilayah Toba: Balige, Laguboti, Porsea, Lumbanjulu, Silaen, dan Parsoburan.

4. Dialek Samosir.

Dipergunakan di wilayah Samosir yaitu: Palipi, Pangururan, Onan Runggu, Simanindo, dan Harian.

5. Dialek Sibolga.

Dipergunakan di Sibolga dan sebagian wilayah Silindung.

Traditional Clotes of Batak Toba

D. Perbedaan-Perbedaan dialek:

1. Perbedaan Fonologis

Kata "amang, Among, Apang"= Ayah. Amang (dialek Silindung, dan Humbang), Among (dialek Toba, dan Samosir), Apang (dialek Sibolga).
"Inang, Inong" = Ibu. Inang (dialek Silindung, Humbang, dan Sibolga), Inong (dialek Toba, dan Samosir).
"Tu, Hu"= Ke. Tu (dialek Silindung, Humbang, Toba, dan Sibolga). Hu (dialek Samosir).

Pada dialek humbang konsonan /r/sebagai apiko alveolar diucapkan menjadi [R] velar. Jadi konsonan /r/ itu lebih dekat kepada /g/ dan /h/, yaitu dibentuk pada rongga tekak misalnya (disaRat-saRat? uRsa ReRe tu RuRa, dari contoh itu tampak bahwa perbedaan fonologis itu dapat terjadi, baik pada vokal maupun konsonan.

2. Perbedaan lafal (ucapan)

Perbedaan itu berada pada bahasa, ,lafal dialek Silindung dan Sibolga halus dan lembut, Lafal dialek Humbang agak halus, Lafal dialek Toba dan Samosir agak keras.

3. Perbedaan Semantis (menurut ilmu arti kata)

Kata ”Lae” /ipar dipergunakan pada dialek Silindung, Toba, Samosir, dan Sibolga, sedangkan pada dialek Humbang kata Lae berarti saudara perempuan ayah.

Untuk panggilan pada anak saudara laki-laki ibu pada dialek Toba dan Samosir disebut ”Opung”, sedangkan di Humbang, Silindung dan Sibolga untuk anak saudara laki-laki ibu dipakai kata ”Tunggane”.Disamping itu kata tunggane dipakai juga untuk mengatakan saudara laki-laki istri.

Untuk mengatak ” belum lagi” pada dialek Toba, Silindungdan Sibolga dipergunakan kata ”ndang do pe”, pada dialek Humbang dipergunakan kata ”ndang kede”, dan pada dialek Samosir dipergunakan kata ”ndang poso” atau ” ndang koso”.

Kata ”Puang” panggilan kepada orang kedua yang menunjukkan hubungan akrab, dipergunakan pada dialek Silindung,Sibolga dan Humbang, sedangkan pada dialek Toba dipergunakan kata ”kedan” dan puan. Pada dialek Samosir kata kedua ini dianggap kasar, hanya dipergunakan kepada orang kedua yang statusnya jauh lebih rendah daripada kita.

E. Watas Isoglos diantara dialek-dialek Bahasa Batak Toba

Seperti sudah dijelaskan diatas bahwa Isoglos( kesamaan dialek), garis watasvkata hádala garis yang memisahkan setiapgejala bahasa dari dua lingkungan kata atau bahasa berdasarkan wujud atau sistem kedua lingkungan itu yang berbeda, yang dinyatakan pada peta bahasa. Garis watas kata itu Madang-kadang juga disebut heteroglos. Oleh karena itu untuk memperoleh gambaran yang benar mengenai batas-batas dialek, harus dibuat watas kata yang menerangkum segala segi kebahasan dari hal-hal yang diperkirakan akan memberikan hasil yang memuaskan.

Dari garis watas kataitu akan terlihat bahtidakakan adasatupun diantara anasir yang memberikan garis yang benar-benar sama sehingga akan selalu terdapat beberapa perbedaan. Walaupundemikian pada garis besarnya akan terlihat adanya suatu irama atau gerak garis itu yang sama sehingga dapat diperkirakan dimana batas-batas dialek yang dimaksud itu. Dalam bahasa Toba watas kata diantara dialek-dialek itu dapat dilihat pada peta berikut ini.”