Bahasa
 Simalungun merupakan salah satu sub bahasa Batak, dan bahasa ibu yang 
dituturkan oleh suku yang mendiami daerah kabupaten Simalungun dan 
sebagian daerah Kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Asahan. 
Menurut fakta dan historis, bahasa Simalungun pada hakekatnya menyebar 
hampir di seluruh daerah di Sumatera Utara terutama di wilayah bagian 
Timur bahkan sampai ke Riau. Pernyataan tersebut didasari oleh banyaknya
 bukti-bukti yang mengindikasikan hal tersebut. Bukti yang cukup kuat 
antara lain dari banyaknya nama-nama tempat/ daerah yang berbahasakan 
Simalungun, seperti nama desa Pamatang Ganjang, Bangun Purba, Parbahuman
 (Perbaungan), Tobing Tinggi, Gunung Para, Sipispis, Dolog Marlawan, dan
 Dolog Masihol di Deli Serdang dan Serdang Bedagai (Sordang Mandogei); 
Pamatang Joring, Parapat Janji, Pamatang Panei, Pagurawan (Pargurouan), 
Silou Buntu, Silou Lama, Parhutaan Silou, Sungai Silou, Marjanji Acce 
(Asih), Pulou Raja, Bandar Pulou, Pamatang Cengkering, Buntu Panei, dan 
Bandar Pasir Mandogei di Asahan; Aek Hanopan, Rantau Parapat, Panei 
Hilir, Panei Tengah, Panei Hulu, Sungai Panei di Labuhan Batu; Pematang 
Peranap dan Bangun Purba di Riau, dan banyak lagi yang lain. Dari sini 
dapat disimpulkan bahwa nama-nama tempat/ daerah tersebut tentulah 
didirikan oleh orang Simalungun dan sangat kecil kemungkinan bukan orang
 Simalungun, karena nama-nama tempat tersebut umum dipakai oleh orang 
Simalungun dalam membuat nama-nama kampung. Secara historis, hal ini 
diperkuat lagi oleh adanya kerajaan Simalungun yang bernama Nagur yang 
pada masa kejayaannya pada abad V hingga abad XV menguasai hampir 
seluruh daerah di Sumatera Utara; ke selatan berbatasan dengan danau 
Toba, ke utara berbatasan dengan Selat Malaka, kemudian ke arah barat 
berbatasan dengan daerah Gayo Lues, dan ke timur berbatasan dengan 
Kesultanan Siak. Demikian juga Kerajaan Silou sebagai penerus Nagur yang
 pusat kerajaan (pamatang) berada di Kecamatan Dolog Silou, di mana daerah kekuasaannya meliputi sebagian daerah koloni Nagur tersebut.
Berbicara mengenai dialek, bahasa Simalungun atau Sahap Simalungun dibagi ke dalam beberapa dialek, yaitu dialek:
1. Sin Raya,
2. Sin Dolog,
3. Sin Purba,
4. Sin Panei,
5. Sin Bandar dan
6. dialek di daerah jahei-jahei (yang berbatasan dengan daerah Melayu)
Ada lagi dialek-dialek lain yang belum dapat digolongkan. Dialek utama dari sekian dialek itu yang dijadikan sebagai tolok ukur atau standard adalah dialek Sin Raya yang digunakan oleh orang Simalungun yang tinggal di Kecamatan Raya dan Raya Kahean. Mengapa demikian? Karena dialek ini diakui tidak banyak mendapat pengaruh dari bahasa di sekelilingnya, seperti bahasa Toba, Karo dan Melayu. Karena memang masyarakat di daerah ini hingga kini masih sangat mengantisipasi pengaruh masyarakat Toba (Parhuluan) dan Karo tersebut.
Semua dialek yang tersebut di atas pada awalnya adalah sama seperti dialek Raya, namun akibat derasnya pengaruh dari bahasa di sekelilingnya yang berawal dari daerah perbatasan, lambat laun keorisinilan bahasa Simalungun pudar. Seperti halnya dialami oleh orang Simalungun yang bermukim di sepanjang daerah pesisir danau Toba atau daerah Horisan, seperti di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Sidamanik, Pematang Sidamanik, Dolog Pardamean, Haranggaol Horisan, dan Purba; di mana akibat seringnya mengadakan interaksi dengan penutur bahasa Toba, yang datang dari pulau Samosir dan sekitarnya, maka bahasa Simalungun di daerah itu banyak bercampur aduk dengan bahasa mereka (Toba).
Demikian juga mereka yang bermukim di Kecamatan Dolog Panribuan, Jorlang Hataran, Tanoh Jawa, Jawa Maraja Bah Jambi, Huta Bayu Raja, Bosar Maligas, dan Ujung Padang, di mana penutur bahasa Simalungun banyak yang beralih atau salih menjadi penutur bahasa Toba, bahkan lebih dominan Tobanya daripada Simalungunnya, sehingga bukanlah suatu yang mengherankan bila orang Simalungun di daerah ini banyak yang tidak tahu marsahap Simalungun.
1. Sin Raya,
2. Sin Dolog,
3. Sin Purba,
4. Sin Panei,
5. Sin Bandar dan
6. dialek di daerah jahei-jahei (yang berbatasan dengan daerah Melayu)
Ada lagi dialek-dialek lain yang belum dapat digolongkan. Dialek utama dari sekian dialek itu yang dijadikan sebagai tolok ukur atau standard adalah dialek Sin Raya yang digunakan oleh orang Simalungun yang tinggal di Kecamatan Raya dan Raya Kahean. Mengapa demikian? Karena dialek ini diakui tidak banyak mendapat pengaruh dari bahasa di sekelilingnya, seperti bahasa Toba, Karo dan Melayu. Karena memang masyarakat di daerah ini hingga kini masih sangat mengantisipasi pengaruh masyarakat Toba (Parhuluan) dan Karo tersebut.
Semua dialek yang tersebut di atas pada awalnya adalah sama seperti dialek Raya, namun akibat derasnya pengaruh dari bahasa di sekelilingnya yang berawal dari daerah perbatasan, lambat laun keorisinilan bahasa Simalungun pudar. Seperti halnya dialami oleh orang Simalungun yang bermukim di sepanjang daerah pesisir danau Toba atau daerah Horisan, seperti di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Sidamanik, Pematang Sidamanik, Dolog Pardamean, Haranggaol Horisan, dan Purba; di mana akibat seringnya mengadakan interaksi dengan penutur bahasa Toba, yang datang dari pulau Samosir dan sekitarnya, maka bahasa Simalungun di daerah itu banyak bercampur aduk dengan bahasa mereka (Toba).
Demikian juga mereka yang bermukim di Kecamatan Dolog Panribuan, Jorlang Hataran, Tanoh Jawa, Jawa Maraja Bah Jambi, Huta Bayu Raja, Bosar Maligas, dan Ujung Padang, di mana penutur bahasa Simalungun banyak yang beralih atau salih menjadi penutur bahasa Toba, bahkan lebih dominan Tobanya daripada Simalungunnya, sehingga bukanlah suatu yang mengherankan bila orang Simalungun di daerah ini banyak yang tidak tahu marsahap Simalungun.
Di
 Kotamadya Pematang Siantar, Kecamatan Siantar, Panei dan Panombeian 
Panei juga demikian, bahasa Simalungunnya juga banyak bercampur dengan 
bahasa Toba, yang jumlah penuturnya cukup signifikan, namun tidak sampai
 menghilangkan eksistensi bahasa Simalungun seperti yang terjadi di 
daerah kekuasaan marga Sinaga itu. Makanya banyak orang yang berasumsi 
kalau Siantar itu lebih identik dengan Tobanya dari pada Simalungunnya. 
Lain halnya dengan orang Simalungun yang tinggal di Kecamatan Dolog Silou dan Silimakuta, di mana mereka kerap berinteraksi dengan orang Karo akibat daerah mereka saling berbatasan, mengakibatkan bahasa Simalungun terkontaminasi bahasa Karo, meskipun tidak sepenuhnya.
Lain lagi dengan orang Simalungun yang berdomisili di daerah Jahei-jahei (Kecamatan Bandar, Pematang Bandar, Bandar Masilam, Bandar Huluan, Gunung Malela, Gunung Maligas, dan Dolog Batu Nanggar), di mana masyarakatnya mayoritas beragama Islam dan sering mengadakan kontak dengan suku Melayu di Deli Serdang dan Asahan, baik di bidang keagamaan maupun perdagangan, secara tak sengaja satu persatu bahasa Melayu pun masuklah ke dalam bahasa Simalungun. Akibat hal ini orang Simalungun yang berasal dari daerah bagian atas (Raya, Purba, Panei, dll) sering menyebut orang Simalungun di daerah tersebut dengan sebutan Jahei-jahei atau Maya-maya, karena dianggap telah memelayukan diri akibat masuk Islam dan tidak lagi mengacuhkan hal-hal yang berhubungan dengan adat-istiadat dan lebih parahnya lagi mereka menganggap orang Simalungun Jahei-jahei sudah tidak mengerti lagi bahasa Simalungun. Namun kenyataannya berbeda, asumsi mereka ternyata keliru, keorisinilan kata dan kehalusan berbicara sesungguhnya tidak banyak berbeda dengan bahasa yang di Raya, dan bahasa Simalungun masih dijadikan sebagai bahasa ibu oleh orang Simalungun kebanyakan. Meski dikatakan dapat pengaruh Melayu, hal itu sangat sedikit sekali dan tidak begitu menonjol, tidak seperti yang dialami oleh penutur bahasa Simalungun lainnya, yang dalam berbicara lebih menonjol Tobanya daripada Simalungunnya atau lebih menonjol Karonya daripada Simalungunnya.
Tapi yang disayangkan di daerah yang banyak berpenduduk Jawa seperti di Kecamatan Bandar Huluan, Siantar Hilir (Gunung Malela, Gunung Maligas, Tapian Dolog), Dolog Batu Nanggar, dan sekitarnya; akibat kerapnya mengadakan komunikasi, bahkan sampai menjalin hubungan persaudaraan dalam bentuk pernikahan dengan suku Jawa tersebut, maka tidak dapat dipungkiri jikalau orang Simalungun di daerah ini malah banyak men-Jawakan diri dan hal itu terjadi pada era belakangan ini di mana jumlah mereka (suku Jawa) semakin signifikan.
Lain halnya dengan orang Simalungun yang tinggal di Kecamatan Dolog Silou dan Silimakuta, di mana mereka kerap berinteraksi dengan orang Karo akibat daerah mereka saling berbatasan, mengakibatkan bahasa Simalungun terkontaminasi bahasa Karo, meskipun tidak sepenuhnya.
Lain lagi dengan orang Simalungun yang berdomisili di daerah Jahei-jahei (Kecamatan Bandar, Pematang Bandar, Bandar Masilam, Bandar Huluan, Gunung Malela, Gunung Maligas, dan Dolog Batu Nanggar), di mana masyarakatnya mayoritas beragama Islam dan sering mengadakan kontak dengan suku Melayu di Deli Serdang dan Asahan, baik di bidang keagamaan maupun perdagangan, secara tak sengaja satu persatu bahasa Melayu pun masuklah ke dalam bahasa Simalungun. Akibat hal ini orang Simalungun yang berasal dari daerah bagian atas (Raya, Purba, Panei, dll) sering menyebut orang Simalungun di daerah tersebut dengan sebutan Jahei-jahei atau Maya-maya, karena dianggap telah memelayukan diri akibat masuk Islam dan tidak lagi mengacuhkan hal-hal yang berhubungan dengan adat-istiadat dan lebih parahnya lagi mereka menganggap orang Simalungun Jahei-jahei sudah tidak mengerti lagi bahasa Simalungun. Namun kenyataannya berbeda, asumsi mereka ternyata keliru, keorisinilan kata dan kehalusan berbicara sesungguhnya tidak banyak berbeda dengan bahasa yang di Raya, dan bahasa Simalungun masih dijadikan sebagai bahasa ibu oleh orang Simalungun kebanyakan. Meski dikatakan dapat pengaruh Melayu, hal itu sangat sedikit sekali dan tidak begitu menonjol, tidak seperti yang dialami oleh penutur bahasa Simalungun lainnya, yang dalam berbicara lebih menonjol Tobanya daripada Simalungunnya atau lebih menonjol Karonya daripada Simalungunnya.
Tapi yang disayangkan di daerah yang banyak berpenduduk Jawa seperti di Kecamatan Bandar Huluan, Siantar Hilir (Gunung Malela, Gunung Maligas, Tapian Dolog), Dolog Batu Nanggar, dan sekitarnya; akibat kerapnya mengadakan komunikasi, bahkan sampai menjalin hubungan persaudaraan dalam bentuk pernikahan dengan suku Jawa tersebut, maka tidak dapat dipungkiri jikalau orang Simalungun di daerah ini malah banyak men-Jawakan diri dan hal itu terjadi pada era belakangan ini di mana jumlah mereka (suku Jawa) semakin signifikan.
Dalam
 bahasa Simalungun terdapat sejumlah fonem yang jarang ditemukan pada 
bahasa batak yang lain. Fonem-fonem itu ada yang berbentuk konsonan dan 
ada pula berbentuk diftong. Fonem-fonem itu adalah /ou/, /ei/, dan /ui/;
 /h/, /d/, /g/, dan /b/, dan semuanya terletak pada akhir kata. Di 
samping bahasa Simalungun, fonem /ou/, /ei/, dan /ui/ ini juga banyak 
dijumpai pada bahasa-bahasa rumpun Melayu, Karo, Alas di Aceh Tenggara, 
dan Keluet di Aceh Selatan. Fonem /ou/, /ei/, dan /ui/ ini dalam bahasa 
Simalungun disebut dengan anak ni surat atau diakritik, hanya Simalungunlah yang mengenal diakritik khusus untuk fonem-fonem ini, yang masing-masing bernama hatulungan, hatalingan, dan hatuluyan. 
Fonem berdiftong /ou/ juga terdapat pada aksara Karo, tetapi tidak pada aksara-aksara Batak lainnya. Namun di Karo, tidak terdapat diakritik khusus untuk fonem /ou/, dan penggunaannya hanya terbatas pada bahasa Karo yang berdialek Jahe-jahe yang bermukim di Deli Serdang dan Langkat, tidak meluas hingga ke dialek Karo yang lain yang memang bermukim di pusat daerah Karo, seperti dialek Kabanjahe dan Gunung.
Bahasa Alas dan Keluet yang sudah tidak memiliki aksara asli seperti di tanah Batak dan telah digantikan dengan aksara Jawi atau Arab Melayu, sehingga sulit menjelaskan keberadaan fonem-fonem berdiftong tersebut. Kendati demikian, bahasa Alas dan Keluet sebenarnya adalah wujud dari kombinasi bahasa Pakpak, Karo, Simalungun, Aceh, dan Melayu. Jadi bila ditelusuri bentuk dari aksara aslinya yang kini telah punah kemungkinan tidak jauh berbeda dengan aksara Karo dan Simalungun.
Fonem berdiftong /ou/ juga terdapat pada aksara Karo, tetapi tidak pada aksara-aksara Batak lainnya. Namun di Karo, tidak terdapat diakritik khusus untuk fonem /ou/, dan penggunaannya hanya terbatas pada bahasa Karo yang berdialek Jahe-jahe yang bermukim di Deli Serdang dan Langkat, tidak meluas hingga ke dialek Karo yang lain yang memang bermukim di pusat daerah Karo, seperti dialek Kabanjahe dan Gunung.
Bahasa Alas dan Keluet yang sudah tidak memiliki aksara asli seperti di tanah Batak dan telah digantikan dengan aksara Jawi atau Arab Melayu, sehingga sulit menjelaskan keberadaan fonem-fonem berdiftong tersebut. Kendati demikian, bahasa Alas dan Keluet sebenarnya adalah wujud dari kombinasi bahasa Pakpak, Karo, Simalungun, Aceh, dan Melayu. Jadi bila ditelusuri bentuk dari aksara aslinya yang kini telah punah kemungkinan tidak jauh berbeda dengan aksara Karo dan Simalungun.
Dalam bahasa Simalungun, fonem /ou/ dapat dilihat pada kata horbou, pisou, magou, kahou, sopou, lahou, lopou, babou, dan dilou. Kemudian fonem /ei/ pada kata lobei, hitei, bogei, dogei, atei, dan buei. Selanjutnya fonem /ui/ terdapat pada kata tondui, langui, apui, sungui, babui, ampodui, surui, dan haluhui. Selanjutnya dalam bahasa Alas, yaitu pada kata endou, enggou, idou, benei, melohei, awei, kelukui, tendui, dan apui. Dalam bahasa Keluet yang hanya mengenal fonem /ou/ dan /ei/ saja, yaitu pada kata kou, kerbou, tangkou, benei, kunei, awei, atei, dan mbuei. Sedang dalam bahasa Karo, yaitu pada kata dilou, belou, sapou, rimou, ayou, namou, payou, matei, berei, isei, keina, benei, dan lumei. Bila dilihat padanannya dengan bahasa bahasa Batak yang lain (Toba, Mandailing-Angkola, Pakpak) fonem /ou/ biasa berbunyi /o/ seperti pada kata-kata berikut horbo, piso, mago, sopo, laho, babo, tangko, dan dilo; /ei/ berbunyi /e/ seperti kata lebe, hite, bege, dege, ate, dan mbue; dan /ui/ berbunyi /i/ seperti katatondi, langi, api, babi, suri, dan halihi.
Selain itu bahasa Simalungun juga mengenal fonem akhir /h/ seperti pada kata daroh, babah, roh, dilah, soh, dan gogoh;
 fonem ini tidaklah khusus dalam bahasa Simalungun, karena fonem akhir 
ini juga terdapat pada bahasa Pakpak, Karo, Alas, dan Keluet; tetapi 
tidak untuk bahasa Toba, Mandailing, dan Angkola mereka tidak mengenal 
sedikitpun akan penggunaan fonem ini, bagI mereka kata daroh akan berbunyi daro, babah akan berbunyi baba, roh akan berbunyi ro,dilah akan berbunyi dila, dan gogoh akan berbunyi gogo.
 Bila ditelusuri lebih jauh fonem /ou/, /ei/, /ui/, dan /h/ ini 
merupakan fonem warisan langsung dari bahasa Austronesia kuno yang telah
 lama punah. Sebagaimana kita ketahui bahasa Austronesia kuno ini 
merupakan bahasa induk yang menurunkan seluruh bahasa di sebagian besar 
kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Voorhoeve
 (1955) pernah mengemukakan bahwa bahasa Simalungun juga mengenal fonem 
penutup /d/, /g/, dan /b/, yang juga tidak terdapat di antara kosa kata 
bahasa Batak yang lain. Fonem penutup ini masih tampak sekali dalam 
beberapa kata, baik itu diucapkan maupun ditulis. Fonem /d/ terdapat 
pada kata bod, saud, tuod, agad, sogod, bagod, sarad, dan alud. Sedang fonem akhir /g/ pada kata dolog, pusog, balog, gijig, ubag, lanog, gilog, borgog, bolag, bogbog, pag, dan ulog. Kemudian fonem akhir /b/ pada kata dob, rongkob, dorab, tayub, dan sab. Pada bahasa Pakpak dan Karo /d/ berubah menjadi /n/, dan /g/ menjadi /ng/, seperti kata bod menjadibon/ben, saud menjadi sahun, tuod menjadi tiwen, sogod menjadi cegen, sarad menjadi saran, dan alud menjadi alun.
Kemudian kata dolog menjadi deleng, pusog menjadi puseng, balogmenjadi baleng, lanog menjadi laneng, borgog menjadi bergeng, bolag menjadi belang, dan pagmenjadi pang. Sedang fonem /b/ belum dapat ditentukan bentuk perubahannya. Dan bentuk ini menurut Voorhoeve lebih dekat kepada bahasa Sanskerta yang banyak mempengaruhi bahasa-bahasa Nusantara. Sementara dalam bahasa Batak yang lain (Toba, Mandailing-Angkola) fonem /d/ berbunyi /t/ seperti tampak pada kata-kata berikut *bod–bot, *saud–saut, *tuod–tot, *agad–agat, *sogod–sogot, *bagod–bagot, *sarad–sarat, dan *alud–arut; /g/ berbunyi /k/ seperti*dolog–dolok, *balog–balok, *lanog–lanok, *bolag–bolak, dan *ulog–ulok; sedang fonem b belum dapat ditentukan bentuk perubahannya.
Kemudian kata dolog menjadi deleng, pusog menjadi puseng, balogmenjadi baleng, lanog menjadi laneng, borgog menjadi bergeng, bolag menjadi belang, dan pagmenjadi pang. Sedang fonem /b/ belum dapat ditentukan bentuk perubahannya. Dan bentuk ini menurut Voorhoeve lebih dekat kepada bahasa Sanskerta yang banyak mempengaruhi bahasa-bahasa Nusantara. Sementara dalam bahasa Batak yang lain (Toba, Mandailing-Angkola) fonem /d/ berbunyi /t/ seperti tampak pada kata-kata berikut *bod–bot, *saud–saut, *tuod–tot, *agad–agat, *sogod–sogot, *bagod–bagot, *sarad–sarat, dan *alud–arut; /g/ berbunyi /k/ seperti*dolog–dolok, *balog–balok, *lanog–lanok, *bolag–bolak, dan *ulog–ulok; sedang fonem b belum dapat ditentukan bentuk perubahannya.
Gorys
 Keraf dalam bukunya Linguistik Bandingan Historis mengemukakan, bahwa 
fonem /d/, /g/, dan /b/ merupakan fonem yang dianggap bermasalah dalam 
beberapa bahasa, tidak hanya pada bahasa Nusantara, tetapi juga pada 
bahasa di Eropa. Karena fonem /d/, /g/, dan /b/ ini secara deskriptif 
biasanya mengalami proses netralisasi ketika berada di posisi akhir, dan
 berganti dengan fonem /t/, /k/, dan /p/. Padahal sebenarnya fonem 
tersebut dapat muncul dalam posisi awal, tengah, dan akhir. Hal itulah 
yang menjadi masalah, karena saat ini banyak bahasa yang tidak lagi 
menampilkan gejala tersebut. Timbul pertanyaan, mengapa bahasa 
Simalungun masih menampilkan gejala tersebut?.
Selanjutnya
 bila ditinjau dari keaslian bahasa, pada hakikatnya tiada satupun 
bahasa di nusantara bahkan di dunia yang bisa dikatakan asli atau masih 
menunjukkan keasliannya, maksud asli di sini bahasa itu memang 
dihasilkan atau diciptakan secara murni dan utuh oleh pengguna bahasa 
itu. Karena memang jauh sebelum manusia dan bahasa tumbuh dan berkembang
 pesat seperti sekarang ini, keaslian bahasa itu memang telah 
terkontaminasi. Proses kontaminasi yang berdampak pada pudarnya keaslian
 bahasa itu dipicu oleh adanya akulturasi atau hubungan antara manusia 
dengan manusia atau bahasa dengan bahasa yang saling berbeda, hal ini 
berefek pada percampuran budaya atau bahasa. Bahasa Indonesia saja yang 
semula asli karena hanya terdapat bahasa Melayu di dalamnya, kini 
perlahan telah mengalami kepudaran, karena pada saat ini bukan hanya 
bahasa Melayu saja yang terkandung didalamnya tetapi telah banyak 
dimasuki unsur-unsur bahasa nusantara yang lain, seperti bahasa 
Minangkabau, Jawa, Sunda, Palembang, dan lain-lain. Masuknya unsur 
bahasa yang lain itu sebenarnya tidak lain hanya untuk melengkapi atau 
memperkaya khazanah perbendaharaan kata bahasa Indonesia, dan kondisi 
ini memang tidak perlu dipermasalahkan, karena bahasa Indonesia ‘kan 
bukannya bahasa yang dimiliki oleh eka-suku atau dwi-suku melainkan 
dimiliki oleh multi-suku yang semuanya berhak menyumbangkan bahasa 
sukunya untuk memperkaya bahasa Indonesia. Dan proses itu merupakan 
peluang yang nantinya dapat dipergunakan oleh orang Batak khususnya 
orang Simalungun untuk menjadikan bahasanya menjadi bagian dari bahasa 
Indonesia.
Kendati
 tampak banyak perbedaan dengan bahasa Batak yang lain, namun eksistensi
 bahasa Simalungun takkan terlepas dari bahasa di sekelilingnya. Bahasa 
Simalungun takkan dapat menarik diri bila dikatakan memiliki kesamaan 
yang besar dengan bahasa Toba, Mandailing, dan Angkola sebagai Rumpun 
Selatan. Dan tidak dapat disangkal pula bila bahasa Simalungun banyak 
memiliki kesamaan dengan bahasa Pakpak, Karo, Alas, dan Keluet sebagai 
Rumpun Utara. Dalam bahasa Karo saja terdapat sekitar 80% kesamaan 
dengan bahasa Simalungun. Mengapa terjadi demikian? karena bahasa 
Simalungun dilihat dari posisinya berdiri di antara kedua rumpun 
tersebut (Voorhoeve: 1955). Namun menurut Adelaar (1981), meski demikian
 bahasa Simalungun sebenarnya adalah salah satu cabang dari bahasa 
rumpun selatan, yang berpisah dengan bahasa Toba, Mandailing, dan 
Angkola sebelum bahasa itu terbentuk. Dari ungkapan Adelar itu, berarti 
bahasa Simalungun telah ada sebelum bahasa rumpun selatan lain terbentuk
 yang kemudian berpisah. Hal itu sesuai dengan Kozok (1999:14) yang 
menegaskan bahwa jika ditilik dari persebaran bahasa dan aksara Batak, 
bahasa dan aksara Simalungun jauh lebih tua daripada bahasa dan aksara 
Batak Toba, Pakpak, dan Karo.
Sumber:
https://masrulpurba.wordpress.com/2009/09/14/bahasa-simalungun-dialek-dan-aksara/
https://masrulpurba.wordpress.com/2009/09/14/bahasa-simalungun-dialek-dan-aksara/
 
 
Tulisanhu do on amang, baen hamu goarhu da dang denggan songoni....
ReplyDeleteMaaf amang. Sudah kutambahkan amang di referensinya link blog amang. Terimakasih atas pengetahuannya tentang dialek Simalungun.
DeleteBersama Kami Agen Tembak Ikan Online Terbesar & Terpercaya!
ReplyDeleteDapatkan Bonus Cashback 5% - 10% / Bonus New Member 10%
Hanya Minimal Deposit IDR 50.000,- Menangkan Jackpot Jutaan Rupiah..
Yuk Gabung Bersama Bolavita Di Website www. bolavita .site
Untuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
BBM: BOLAVITA
WeChat: BOLAVITA
WA: +628122222995
Line : cs_bolavita