Pemekaran Kabupaten Tapanuli TengahFeatured Post

Monday, 21 January 2013

Batak Alas di Kab. Aceh Tenggara

SUKU BATAK ALAS

DI KAB. ACEH TENGGARA

by: Wendy Hutahaean


Suku Batak Alas atau disebut juga Suku Alas merupakan salah satu suku yang bermukim di Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh (yang juga lazim disebut Tanah Alas). Kata "alas" dalam bahasa Alas berarti "tikar". Hal ini ada kaitannya dengan keadaan daerah itu yang membentang datar seperti tikar di sela-sela Bukit Barisan. Daerah Tanah Alas dilalui banyak sungai, salah satu di antaranya adalah Lawe Alas (Sungai Alas).  Total populasi suku Alas adalah sekitar 60,000 jiwa, dimana sekitar 51,240 jiwa tinggal di Kabupaten Aceh Tenggara.

Traditional Clothes of Batak Alas

Menurut para peneliti bahwa suku Alas ini dikelompokkan ke dalam rumpun Batak, beserta suku Pakpak, Karo, Toba, Kluet dan lain-lain. Diperkirakan suku Alas ini justru lebih tua dari suku Batak lain, yang datang pada gelombang pertama kelompok Proto Malayan yang menyebar di Tanah Alas sekarang ini.

Traditional Dance of Batak Alas

Sebagian besar suku Alas tinggal di pedesaan dan hidup dari pertanian dan peternakan. Tanah Alas merupakan lumbung padi untuk daerah Aceh. Tapi selain itu mereka juga berkebun karet, kopi,dan kemiri, serta mencari berbagai hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar dan kemenyan. Sedangkan binatang yang mereka ternakkan adalah kuda, kambing, kerbau, dan sapi.

Traditional Houseof Batak Alas


Kampung atau desa orang Alas disebut kute. Suatu kute biasanya didiami oleh satu atau beberapa klan, yang disebut merge. Anggota satu merge berasal dari satu nenek moyang yang sama. Pola hidup kekeluargaan mereka adalah kebersamaan dan persatuan. Mereka menarik garis keturunan patrilineal, artinya garis keturunan laki-laki. Mereka juga menganut adat eksogami merge, artinya jodoh harus dicari di merge lain.

Suku Alas 100% adalah penganut agama Islam. Namun masih ada juga yang mempercayai praktik perdukunan misalnya dalam kegiatan pertanian. Mereka melakukan upacara-upacara dengan latar belakang kepercayaan tertentu agar pertanian mereka mendatangkan hasil baik atau terhindar dari hama.

A.   Bahasa

Bahasa Alas, adalah merupakan bahasa masyarakat di Tanah Alas (Aceh Tenggara). Bahasa ini bertalian erat dengan Bahasa Kluet (Aceh Selatan), Bahasa Singkil-Julu (Aceh Singkil), Bahasa Batak Pakpak dan Bahasa Batak Karo di Sumatera Utara. Bahasa Alas memiliki tiga dialek, yaitu dialek Hulu dipakai di kecamatan Badar, dialek Hilir dipakai di kecamatan Bambel dan dialek Tengah dipakai di kecamatan Babussalam dan Lawe Alas. Perbedaan dari ketiga dialeg ini hanya sedikit sekali, yaitu: bila ditinjau dari segi intonasi pemakaian bahasa Alas di kecamatan Badar lebih halus, sedang di daerah kecamatan Babussalam, Lawe sigala-gala dalam kategori sedang. Sedangkan di kecamatan Bambel kasar. Selain itu, dalam bahasa Alas juga, ditemukan tingkat bahasa, meskipun hanya ditemukan pada beberapa kata.

Bahasa Alas, selengkapnya bahasa Batak Alas-Kluet untuk para linguist, dimasukkan dalam kelompok bahasa Batak, walau dari segi budaya dan jati diri orang Alas tidak melihat dirinya sebagai orang Batak. 

B.   Sejarah

Ukhang Alas atau khang Alas atau Kalak Alas telah bermukim di lembah Alas, jauh sebelum Pemerintah Kolonial Belanda masuk ke Indonesia dimana keadaan penduduk lembah Alas telah diabadikan dalam sebuah buku yang dikarang oleh seorang bangsa Belanda bernama Radermacher (1781:8), bila dilihat dari catatan sejarah masuknya Islam ke Tanah Alas, pada tahun 1325 (Effendy, 1960:26) maka jelas penduduk ini sudah ada walaupun masih bersifat nomaden dengan menganut kepercayaan animisme. Nama Alas diperuntukan bagi seorang atau kelompok etnis, sedangkan daerah Alas disebut dengan kata Tanoh Alas. Menurut Kreemer (1922:64) kata "Alas" berasal dari nama seorang kepala etnis (cucu dari Raja Lambing), beliau bermukim di desa paling tua di Tanoh Alas yaitu Desa Batu Mbulan.

Menurut Iwabuchi (1994:10) Raja yang pertama kali bermukim di Tanoh Alas adalah terdapat di Desa Batumbulan yang dikenal dengan nama RAJA LAMBING yaitu keturunan dari RAJA LOTUNG atau dikenal dengan cucu dari GURU TATAE BULAN dari Samosir Tanah Batak, Tatae Bulan adalah saudara kandung dari RAJA SUMBA. Guru Tatae Bulan mempunyai lima orang anak, yaitu Raja Uti, Saribu Raja, Limbong, Sagala, dan Silau Raja. Saribu Raja adalah merupakan orang tuanya Raja Borbor dan Raja Lontung. Raja Lontung mempuyai tujuh orang anak yaitu, Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar atau yang dikenal dengan siampudan atau payampulan. Pandiangan merupakan moyangnya Pande, Suhut Nihuta, Gultom, Samosir, Harianja, Pakpahan, Sitinjak, Solin di Dairi, Sebayang di Tanah Karo, dan SELIAN di Tanah Alas, Keluet di Aceh Selatan.

Raja Lambing adalah moyang dari merga Sebayang di Tanah Karo dan Selian di Tanah Alas. Raja Lambing merupakan anak yang paling bungsu dari tiga bersaudara yaitu abangnya tertua adalah Raja Patuha di Dairi, dan nomor dua adalah Raja Enggang yang hijrah ke Kluet Aceh Selatan, keturunan dan pengikutnya adalah merga Pinem atau Pinim. Kemudian Raja Lambing hijrah ke Tanah Karo dimana keturunan dan pengikutnya adalah merga Sebayang dengan wilayah dari Tigabinanga hingga ke perbesi dan Gugung Kabupaten Karo.

Diperkirakan pada abad ke 12 Raja Lambing hijrah dari Tanah Karo ke Tanah Alas, dan bermukim di Desa Batumbulan, keturunan dan pengikutnya adalah merga Selian. Di Tanah Alas Raja Lambing mempunyai tiga orang anak yaitu Raja Lelo (Raje Lele) keturunan dan pengikutnya ada di Ngkeran, kemudian Raja Adeh yang merupakan moyangnya dan pengikutnya orang Kertan, dan yang ketiga adalah Raje Kaye yang keturunannya bermukim di Batumbulan, termasuk Bathin. Keturuan Raje Lambing di Tanah Alas hingga tahun 2000, telah mempuyai keturunan ke 26 yang bermukim tersebar diwilayah Tanah Alas (Effendy, 1960:36; sebayang 1986:17).

Setelah Raja Lambing kemudian menyusul Raja Dewa yang istrinya merupakan putri dari Raja Lambing. Raja Lambing menyerahkan tampuk kepemimpinan Raja kepada Raja Dewa (menantunya). Yang dikenal dengan nama Malik Ibrahim, yaitu pembawa ajaran Islam yang termashur ke Tanah Alas. Bukti situs sejarah ini masih terdapat di Muara Lawe Sikap, desa Batumbulan. Malik Ibrahim mempunyai satu orang putera yang diberinama ALAS dan hingga tahun 2000 telah mempunyai keturunan ke 27 yang bermukim di wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, Banda Aceh, Medan, Malaysia dan tempat lainnya.

Ada hal yang menarik perhatian kesepakatan antara putera Raja Lambing (Raja Adeh, Raja Kaye dan Raje Lele) dengan putra Raja Dewa (Raja Alas) bahwa syi’ar Islam yang dibawa oleh Raja Dewa diterima oleh seluruh kalangan masyarakat Alas, tetapi adat istiadat yang dipunyai oleh Raja Lambing tetap di pakai bersama. Ringkasnya, hidup dikandung adat mati dikandung hukum (Islam) oleh sebab itu jelas bahwa asimilasi antara adat istiadat dengan kebudayaan suku Alas telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu.

Pada awal kedatanganya Malik Ibrahim migrasi melalui pesisir bagian timur (Pasai) sebelum ada kesepakatan diatas, ia masih memegang budaya matrealistik dari minang kabau, sehingga puteranya Raja Alas sebagai pewaris kerajaan mengikuti garis keturunan dan merga pihak ibu yaitu Selian. Setelah Raja Alas menerima asimilasi dari Raja Lambing dengan ajaran Islam, maka sejak itulah mulai menetap keturunannya menetap garis keturunannya mengikuti garis Ayah. Raja Alas juga dikenal sebagai pewaris kerajaan, karena banyaknya harta warisan yang diwariskan oleh ayah dan kakeknya sejak itulah dikenal dengan sebutan Tanoh Alas. Setelah kehadiran Selian di Batumbulan, muncul lagi kerajaan lain yang di kenal dengan Sekedang yang basis wilayahnya meliputi Bambel hingga ke Lawe Sumur. Raja sekedang menurut beberapa informasi pada awal kehadiranya di Tanah Alas adalah untuk mencari orang tuanya yaitu RAJA DEWA yang migran ke Tanah Alas. Raja Sekedang yang merupakan pertama sekali datang ke Tanah Alas diperkirakan ada pertengahan abad ke 13 yang lalu yaitu bernama NAZARUDIN yang dikenal dengan panggilan DATUK RAMBUT yang datang dari Pasai.

Pendatang berikutnya semasa Raja Alas yaitu kelompok Megit Ali dari Aceh pesisir dan keturunannya berkembang di Biak Muli yang dikenal dengan merga Beruh. Lalu terjadi migran berikutnya yang membentuk beberapa marga, namun mereka tetap merupakan pemekaran dari Batumbulan, penduduk Batumbulan mempuyai beberapa kelompok atau merga yang meliputi Pale Dese yang bermukim di bagian barat laut Batumbulan yaitu terutung pedi, lalu hadir kelompok Selian, datang kelompok Sinaga, Keruas dan Pagan disamping itu bergabung lagi marga Munthe, Pinim dan Karo-Karo. Marga Pale Dese merupakan penduduk yang pertama sekali menduduki Tanah Alas, namun tidak punya kerajaan yang tercatat dalam sejarah. Kemudian hadir pula Deski yang bermukim di kampong ujung barat.

Menurut Bernard H.M Vlekke "Nusantara : A History of Indonesia" Diterjemahkan oleh : Samsudin Berlin (Nusantara: Sejarah Indonesia) Dicetak oleh : PT Gramedia, Jakarta, Cet 4, 2008. Kepulauan Indonesia terletak di jalur laut utama antara Asia bagian timur dan selatan. Dalam wilayah antara seperti ini, dengan sendirinya bias diperkirakan akan terdapat populasi dengan beragam asal-usul. Penemuan antropologis menambahkan banyak kerumitan pada studi mengenai masalah asal-usul manusia dalam gugusan pulau itu. Pada 1890 Dr. Eugene Dubolis menemukan sisa-sisa sebuah kerangka yang tampaknya saat itu tidak dapat diklasifikasikan sebagai kera atau manusia. Diskusi-diskusi ilmiah mengenai sisa-sisa "Pithecanthopus erectus" (nama yang disarankan Dubois) menghasilkan kesimpulan yang tidak pasti. Untuk waktu lama, hanya sedikit penemuan baru yang bias menjelaskan masalah sulit ini. Tapi 40 tahun kemudian, gambaran ini tiba-tiba berubah. Antara 1931 dan 1941, antropolog Oppenoorth dan Von Koenigswald menemukan fosil sisa-sisa beberapa jenis manusia purba yang berasal dari Kala Pleistosen awal atau pertengahan. Semua penemuan ini terjadi di sekitar Surakarta di Jawa Tenggah. Penemuan itu ternyata sangat penting bagi antropologi dan biologi pada umumnya. Tapi tidak berarti bagi sejarah Indonesia. Orang-orang Indonesia zaman purba adalah keturunan imigran dari benua Asia. Antara zaman Pithecanthpopus dan tibanya para imigran mungkin ada sepanjang waktu ribuan abad.

Ada beberapa teori mengenai perkembangan etnologis Indonesia. Keadaan linguistik dan etnisnya sangat kompleks. Beberapa ratusan bahasa ditutut di kepulauan Indonesia, dan sering kali beberapa bahasa dipakai di satu pulau kecil. Penduduk satu wilayah kecil bisa terdiri atas fenotipe yang sangat berbeda. Tidak ada satu pulau, betapun kecilnya, yang penduduknya tidak campur-baur, dan di semua pulau besar (kecuali jawa) kita temukan suku-suku bangsa primitive hidup berdampingan dengan orang-orang dengan derajat peradapan tinggi. Salah satu aspek paling mencolok dari masalah ini ialah bahwa di setiap pulau besar ada perbedaan besar antara penduduk wilayah pantai dan pedalaman. P. dan F. Sarasin bersaudara, penjelajah terkenal pedalaman Sulawesi, adalah ilmuan-ilmuan pertama yang merumuskan suatu teori yang masuk akal tentang peradapan antara suku-suku bangsa pedalaman dengan penduduk pantai ini. Teori ini kemudian dikembangkan lagi oleh antropologi-antropologi lain. Teori Sarasin bersaudara ini adalah bahwa populasi asli kepulauan Indonesia adalah orang dengan fenotipe bkulit gelap dan tubuh kecil, dan bahwa kelompok ini awalnya mendiami seluruh Asia bagian tenggara. Pada waktu itu wilayah itu adalah satu daratan yang solid. Tentu saja, es dari periode glasia tidak pernah menutupi pulau-pulau Hindia Timur itu, tapi pada penghujung periode glacial yang terakhir level laut naik begitu tinggi sehingga laut cina Selatan dan Laut Jawa terbentuk dan memisahkan wilayah pegunungan vulkanik Indonesia dari daratan utama. Sia-sia penduduk asli yang terpisah-pisah dianggap masih tinggal di daerah-daerah pedalaman, sementara daerah-daerah pantai yang baru terbentuk dihuni oleh pendatang-pendatang baru. Sarasin bersaudara menyebut keturunan orang asli itu orang Vedda, menurut nama salah satu kelompok paling terkenal yang masuk dalam kelompok ini, orang Hieng di Kamboja, Miao-tse dan Yao-jen di Cina, serta Senoi di semenanjung Malaya. Di kepulauan Indonesia terdapat orang yang tinggal di hutan Sumatera (Kubu, Lubu, dan Mamak) serta Toala di Sulawesi. Riset di kemudian hari memungkinkan penguraian lebih jauh terhadap benang ruwet yang membentuk pola antropologis Indonesia. Kumpulan bukti antropologis dan arkeologis tampaknya menunjukkan bahwa populasi tertua kepulauan Indonesia berhubungan erat dengan nenek moyang Melanesia masa kini dan bahwa “orang Vedda” yang disebutkan Sarasin tersebut termasuk apa yang saat itu dinamakan "ras Negrito" yang walaupun jarang, masih terdapat di seluruh Afrika, Asia Selatan, dan Oceania. Jadi Vedda adalah “imigrasi” pertama yang masuk ke dunia pulau yang sudah berpenghuni dan masih dapat dibedakan dari pendahulu mereka berkat model perkakas batu yang mereka tinggalkan. Kedua populasi itu dikatakan hidup di tahap Mesolitik.

Lama setelah tibanya orang Negrito, datang populasi baru ke Indonesia. Budaya mereka tipe Neolitik dan permukiman awal mereka yang menyerupai gerabah Cina kuno. Hari ini pun orang dari kelompok awal ini pemalu dan jarang terlihat, kecuali didatangi ditempat mereka di pedalaman yang masih liar. Mereka tidak punya pilihan lain kecuali melebur atau musnah.

Sarasin bersaudara menyebut pendatang baru itu terdiri dari dua gelombang, Melayu Proto dan Melayu Deutero. Karena kedatangan mereka dalam dua gelombang migrasi, terpisah dalam waktu tenggang yang menurut perkiraan lebih dari 2.000 tahun. Melayu Proto diyakini adalah nenek monyang mungkin dari semua orang yang kini dianggap masuk kelompok Melayu Polinesia yang tersebar dari Madagaskar sampai pulau-pulau paling timur di pasifik, mereka diperkirakan bermigrasi ke Kepulauan Indonesia dari Cina bagian selatan. Di Cina ditempat tinggal asli mereka diperkirakan berada di wilayah yang secara kasar termasuk dalam provinsi Yunnan sekarang. Dari situ mereka bermigrasi ke Indonesia dan Siam dan kemudian ke Kepulauan Indonesia. Kedatangan mereka tampaknya bersamaan dengan munculnya perkakas neolitik pertama di Indonesia dan dengan demikian dapat di tentukan pada sekitar 3.000 SM. Menurut teori Sarasin, keturunan Melayu Proto pada gilirannya terdesak ke pedalaman oleh datangnya imigran baru, Melayu Deutero, yang juga berasal dari Indocina bagian utara dan wilayah sekitarnya. Melayu Deutero diidentifikasikan dengan orang yang memperkenalkan perkakas dan senjata besi kedunia kepulauan Indonesia. Studi mengenai perkembangan peradapan di Indocina tampaknya menunjukkan suatu tanggal bagi peristiwa itu : imigrasi itu terjadi antara 300 dan 200 SM. Dengan sendirinya Melayu Proto dan Melayu Deutero berbaur dengan bebas, yang menjelaskan kesulitan membedakan kedua kelompok itu di antara orang Indonesia. Melayu Proto dianggap mencakup Alas dan Gayo di Sumatera bagian utara dan Toraja di Sulawesi. Hampir semua orang lain di Indonesia, kecuali orang papua dan pulau-pulau di sekitarnya, dimasukkan dalam kelas Melayu Deutero.

C.   Marga

Sejak abad ke-18 dan 20 penduduk Tanah Alas semakin bertambah karena migrasi atau kedatangan penduduk dari luar daerah Alas, diantaranya dari Gayo Lues, Aceh, Singkil, Pak-Pak, Karo, Toba, Minang, Mandailing dan China. Karena sebagian besar para pendatang ini memiliki marga-marga sebagai identitas, maka suku Alas menampakkan kembali marga-marga mereka untuk membedakan mereka dengan suku-suku pendatang tersebut. 

Menurut buku (Sanksi dan Denda Tindak Pidana Adat Alas, Dr Thalib Akbar MSC 2004) adapun marga–marga etnis Alas yaitu :
1.    Bangko,
2.    Deski,
3.    Keling,
4.    Kepale Dese,
5.    Keruas,
6.    Pagan, dan
7.    Selian

Kemudian hadir lagi asimilasi beberapa marga dari suku Batak Lainnya, di antaranya:
1.    Acih,
2.    Beruh,
3.    Gale,
4.    Kekaro,
5.    Mahe,
6.    Menalu,
7.    Mencawan,
8.    Munthe,
9.    Pase,
10. Pelis,
11. Pinim,
12. Ramin,
13. Ramud,
14. Sambo,
15. Sekedang, Sugihen,
16. Sepayung,
17. Sebayang dan
18. marga Terigan.

D.   Seni Tari

Seni budaya, Kabupaten Aceh Tenggara memiliki kekayaan budaya tersendiri yang berbeda dengan daerah lain di Aceh. Kesenian tradisional yang telah mendunia adalah Tari Saman yang sering disebut Tari Tangan Seribu. Seni perang adat alas yang memakai rotan sebagai alat dan tameng, dengan cara saling memukul terhadap lawan. Biasanya sering dilakukan dalam upacara untuk menyambut tamu kehormatan. Kesenian yang menggunakan seruling sebagai medianya. Sering dilantunkan dalam acara adat seperti jagai, sebagai musik pengiring dalam acara perkawinan namun hal ini masih sering didengar walaupun sudah jarang orang yang bisa memainkannya.


Adapun kesenian dari etnis suku Alas (Musyawarah Adat Alas dan Gayo, 2003) :
1.    Tari Mesekat
2.    Pelabat
3.    Landok Alun
4.    Vokal Suku Alas
5.    Canang Situ
6.    Canang Buluh
7.    Genggong
8.    Oloi-olio
9.    Keketuk layakh

E.   Kerajinan

Adapun kerajinan tradisional dari etnis alas seperti :
 1.    Nemet (mengayam daun rumbia)
2.    Mbayu amak (tikar pandan)
3.    Bordir pakaian adat
4.    Pande besi (pisau bekhemu)

F.    Makanan Tradisonal

Adapun makanan tradisional dari suku alas adalah :
 1.    Manuk labakh
2.    Ikan labakh
3.    Puket Megaukh
4.    Lepat bekhas
5.    Gelame
6.    Puket Megaluh
7.    Buah Khum-khum
8.    Ikan pacik kule
9.    Teukh Mandi
10. Puket mekuah
11. Tumpi
12. godekhr
13. puket sekuning
14. cimpe
15. getuk

G. Wilayah Suku Alas

Suku Alas menempati wilayah Kabupaten Aceh Tenggara yang terdiri dari beberapa kecamatan, yaitu:
1.   Kec. Lawe Alas, beribukota di Ngkeran
2.   Kec. Babul Rahmah, beribukota di Lawe Sumur
3.   Kec. Tanoh Alas, beribukota di Tenembak Alas
4.   Kec. Lawe Sigala-gala, beribukota di Lawe Sigala
5.   Kec. Babul Makmur, beribukota di Sejahtera
6.   Kec. Semadam, beribukota di Simpang Semadam
7.   Kec. Leuser, beribukota di Kene Mende
8.   Kec. Bambel, beribukota di Kuta Langlang
9.   Kec. Bukit Tusam, beribukota di Lawe Dua
10. Kec. Lawe Sumur, beribukota di Lawe Perlak
11. Kec. Babussalam, beribukota di Kutacane
12. Kec. Lawe Bulan, beribukota di Simpang Empat
13. Kec. Badar, beribukota di Purwodadi 
14. Kec. Darul Hasanah, beribukota di Mamas
15. Kec. Ketambe, beribukota di Lawe Beringin
16. Kec. Delleng Pokhisen, beribukota di Beriring Naru

Kabupaten Aceh Tenggara
Kabupaten Aceh Tenggara

Sumber:
1. http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Alas
2. http://ubaiselian.blogspot.com/2011/01/alas-adalah.html
3. http://lidahtinta.wordpress.com/2009/07/28/keragaman-dan-kekayaan-etnis-alas/

Batak Alas Song - Maju Negekhiku

Batak Rao di Kab. Pasaman

SUKU BATAK RAO

DI KAB. PASAMAN
by: Wendy Hutahaean


Suku Batak Rao, adalah salah satu etnis Batak yang mendiami mulai dari sekitar perbatasan provinsi Sumatra Utara - Sumatra Barat sampai ke wilayah kabupaten Pasaman, Sumatra Barat. Suku Rao ini, telah lama bermukim di wilayah ini sejak abad ke 5 Masehi. Apabila dilihat dari fisik dan kemiripan bahasa, suku Rao ini sepertinya masih berkaitan erat dengan Batak Mandailing dan Batak Padang Lawas. Selain itu, menurut orang Mandailing, bahwa orang Rao ini sebenarnya masih keturunan dari Mandailing, karena orang Rao telah beratus-ratus tahun bermigrasi ke wilayah Sumatra Barat, sehingga terbentuklah suatu etnis bernama suku Rao. Tetapi, menurut penuturan beberapa masyarakat Rao, bahwa suku Rao adalah suku tersendiri, yaitu suku Rao, bukanlah Batak, bukan Mandailing, bukan Minangkabau dan juga bukan Melayu, walaupun mereka tidak menyangkal bahwa nenek moyang mereka mungkin berasal dari tanah Batak Mandailing.


Traditional Clothes of Batak Rao 

Suku Rao sendiri telah lama bertetangga dekat dengan suku Minangkabau, maka budaya mereka pun sepertinya menyerap beberapa adat istiadat dan budaya Minangkabau ke dalam budaya dan adat istiadat Rao sendiri. Wilayah Rao berada dalam lingkaran Bukit Barisan meliputi berbagai daerah seperti Huta Godang, Panti, Padang Gelugor, Langsat Kadap, Lubuk Layang, Kubu Sutan, Sungai Ronyah, Selayang dan Muara Sipongi (disebut dengan Rao versi lama) yang terletak di tengah pulau Sumatera. Di sebelah Utara, Rao bertetangga dengan suku Mandailing-Sumatera Utara, di sebelah Timur bertetangga dengan suku Melayu- Riau Daratan, di sebelah Selatan, bertetangga dengan suku Minangkabau, sedangkan di sebelah Barat, terbuka dengan Selat Mentawai yang secara geografi membentuk permukaan bumi di daratan pulau Sumatera.

Orang Rao saat ini masih tetap mengamalkan adat resam dan budaya asli Rao. Budaya Rao yang paling terkenal ialah bojojak, botatah atau adat pantang tanah. Anak-anak Rao tidak dibolehkan menyentuh tanah sebelum menjalankan upacara bojojak ini.

Traditional Dance of Batak Rao

Suku Rao menggunakan bahasa Rao yang termasuk ke dalam Rumpun Bahasa Malayo-Polynesian. Bahasa dan budaya Rao berbeda dengan Tapanuli, Minangkabau dan Riau Daratan. Suku Rao adalah sebuah tamadun yang tua, ini dibuktikan dengan terdapatnya berbagai bukti arkeologis barang purbakala yang berumur ribuan tahun di Rao. Seperti candi Tanjung Medan di Petok Panti, Candi Pancahan, Arca Dwarapala Padang Nunang, Prasasti Lubuk Layang dan Candi Bukit Rao yang ditemukan oleh Amran Datuk Jorajo.

Cerita tentang budaya Rao justru banyak terdapat dalam catatan sejarah yang ditulis oleh orang Belanda. Di Rao terdapat sebuah benteng Amorogen sebagai saksi pertempuran sengit antara penjajah Belanda melawan pribumi yang dipimpin oleh Tuanku Rao. Rao di masa lalu merupakan sebuah kota yang besar, pusat perekonomian dengan terdapatnya tambang emas terbesar di Sumatera pada waktu itu. Letnan 1 Infanteri J.C. Boelhouwer, dalam tulisannya yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Pemerintah Daerah Pasaman. Dalam buku tersebut diceritakan tentang penduduk suku Rao di Sumatera.

Traditional House of Batak Rao
Semenjak kedatangan Belanda ke Rao yang berjaya mengalahkan pasukan Paderi beserta pemimpinnya seperti Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai sampai sekarang Rao telah banyak dimasuki oleh pendatang dari Minangkabau dan Tapanuli. Masyarakat suku Rao sendiri ternyata banyak yang berada di  Medan, Malaysia, Palembang dan sebagainya. Sementara di tanah Rao sendiri telah banyak dimasuki oleh pendatang yang bukan suku Rao untuk mengisi kekosongan yang terdapat di Rao.

Sebagian besar masyarakat suku Rao ternyata telah banyak yang hijrah ke Malaysia pada sekitar 500 tahun yang lalu, terutama di Perak, Negeri Sembilan, Pahang, Selangor dan Kelantan. Nama-nama kampung merekapun di bawa dari nama kampung yang terdapat di Rao sendiri. Dalam kehidupan keseharian mereka, orang Rao ini masih mempertahankan bahasa, adat istiadat, budaya dan hubungan kekerabatan dengan kampung asal nenek moyang mereka di Rao.

Penyebab lain yang perpindahan besar-besaran orang Rao, oleh karena wilayah Rao ditaklukkan oleh Belanda pada tahun 1833. Selain itu disebabkan meletusnya perang saudara antara Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan tentara pusat di Sumatera Barat pada 15 Februari 1958, dan Rao adalah kubu terakhir PRRI ketika itu. Pemberontakan partai komunis Indonesia pada tahun 1966 juga diperkirakan mempengaruhi penghijrahan.

Bahasa Rao, adalah suatu bahasa yang dituturkan oleh suku Rao, yang mendiami daerah Rao-Pasaman, di Sumatra Barat, Indonesia. Bahasa Rao ini merupakan bahasa yang berhubungan erat dengan bahasa Batak Mandailing-Padang Lawas dan bahasa Minangkabau serta dengan bahasa Melayu, karena dalam perbendaharaan bahasa Rao banyak terdapat banyak kemiripan dengan bahasa-bahasa tersebut. Sepertinya bahasa Rao ini merupakan asimilasi antara bahasa Batak Mandailing-Padang Lawas dengan bahasa Minang.

Tetapi menurut penuturan masyarakat Rao sendiri, bahwa bahasa Rao bukanlah bagian dari bahasa Batak Mandailing-Padang Lawas, Minang maupun Melayu. Melainkan menurut mereka, bahwa bahasa Rao justru lebih tua dari bahasa Minang dan bahasa Melayu, dan sudah berdiri sendiri sejak lama. Di Malaysia bahasa Rao disebut sebagai bahasa Rawa. Ada beberapa penulis yang mengartikan "Rao" sebagai "Rawa". Bahasa Rao ini termasuk ke dalam rumpun bahasa Malayo-Polynesian.

Sekondakhati

Sunday, 20 January 2013

Batak Karo di Kab. Karo

SUKU BATAK KARO
DI KAB. KARO

By: Wendy Hutahaean


Suku Batak Karo, adalah salah satu suku Batak yang tersebar di dataran dataran tinggi Bukit Barisan, berpusat pada kabupaten Tanah Karo provinsi Sumatra Utara. Populasi suku ini termasuk yang kedua terbesar setelah suku Batak Toba, diperkirakan populasi suku Karo saat ini lebih dari 4.000.000 orang.

Traditional Clothes of Batak Karo

Bahasa Karo adalah bahasa yang digunakan oleh suku Karo yang mendiami Dataran Tinggi Karo Kabupaten Karo), Langkat, Deli Serdang, Dairi, Medan hingga ke Aceh Tenggara. Suku Batak Karo berbicara dalam bahasa Karo, yang disebut juga sebagai Cakap Karo. Bahasa Karo ini termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia, yang berkerabat dengan bahasa Simalungun, bahasa Alas dan bahasa Gayo.

Traditional Dance of Batak Karo

Tentang asal usul suku Karo sendiri, tidak diketahui secara pasti, tetapi beberapa cerita rakyat menceritakan bahwa suku Karo terjadi dari pembauran beberapa suku pendatang yang melakukan kawin-campur dengan penduduk asli yang sudah ada di wilayah kediaman suku Karo pada masa lalu. Menurut versi lain, bahwa suku Karo berasal dari suatu Kerajaan Tua yang bernama Kerajaan Haru. Dari keturunan Kerajaan Haru inilah terbentuknya masyarakat suku Karo. Setelah eksisnya suku Karo di wilayah ini, maka berdatanganlah segala bangsa dari segala penjuru, termasuk dari India, Arab, China, dan juga dari suku-suku Batak lain yang berbaur dan masuk dalam adat-istiadat suku Karo. Oleh karena itulah pada masyarakat suku Karo, terdapat bermacam-macam ciri-ciri fisik yang berbeda, dari kulit kuning, kulit coklat, hingga kulit gelap kehitaman. Tetapi kalau dicermati sedikit ke dalam, dari bentuk kain di atas kepala para perempuan suku Karo, mirip dengan kain kepala salah satu suku di Thailand. Apakah ini ada hubungannya, antara suku Karo dengan salah satu suku di Thailand? tentunya hal ini perlu penelitian lebih lanjut.

Traditional House of Batak Karo

Wilayah adat Taneh Karo sendiri sebenarnya sangat luas, tidak terbatas pada kabupaten Tanah Karo saja, melainkan mulai dari kabupaten Tanah Karo, daerah kabupaten Deli serdang, kabupaten Langkat, sebagian kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat hingga sampai ke wilayah kabupaten Aceh Tenggara. Daerah-daerah ini lah yang banyak didiami masyarakat suku Karo. Bahkan masyarakat suku Karo yang telah menjadi Melayu bermukim di pesisir sebelah Timur pantai Sumatra.

Pada suku Karo ini terdiri dari beberapa bagian kelompok sub-suku Karo, yaitu suku Karo Gugung (Gunung) yang mendiami daerah dataran tinggi Bukit Barisan, suku Karo Jahe yang mendiami daerah dataran rendah seperti di daerah Langkat dan Deli Serdang, dan Karo Baluren. Selain itu ada juga yang disebut sebagai suku Karo Melayu Pesisir Timur yang bermukim di pesisir Timur pulau Sumatra.

Suku Karo ini memiliki dialek yang berbeda dengan suku-suku batak lainnya. Dialek dalam bahasa Karo memiliki irama yang naik turun serta melantun seperti orang yang sedang bersenandung, sehingga terdengar agak lembut. Berbeda dengan dialek suku-suku Batak yang lain, yang cenderung agak keras. 

Pada masa dahulu di Sumatra Utara pernah berdiri suatu Kerajaan yang besar di wilayah Sumatra Utara, yang rajanya berasal dari suku Karo, kerajaan tersebut bernama Kerajaan Haru. Menurut Brahma Putra, dalam bukunya "Karo dari Zaman ke Zaman" mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatera Utara yang rajanya bernama "Pa Lagan". Diperkirakan Pa Lagan ini berasal dari suku Karo. Yang menjadi pertanyaan, apakah ada hubungan kerajaan yang dipimpin Pa Lagan ini dengan Kerajaan Haru ? Atau Kerajaan Pa Lagan ini adalah Kerajaan Haru ? Kalau ini benar berarti Kerajaan Haru telah ada sejak abad 1 Masehi.

Kerajaan Haru ini terus bertahan sampai abad 12, dan pada masa jayanya pernah berperang dengan Kerajaan dari Malaka, Kerajaan dari Aceh bahkan menaklukkan pasukan Majapahit yang mencoba menginvasi wilayah Sumatra Timur. Akibat dari takluknya pasukan Majapahit yang dipimpin Gajah Mada ini lah yang membuat Gajah Mada bersumpah dalam sumpahnya yang ingin menaklukkan Kerajaan Haru dan sekitarnya serta menaklukkan seluruh Nusantara, tetapi sumpah tersebut tidak terlaksana.

Di Aceh Besar provinsi Aceh, terdapat suatu kelompok masyarakat yang konon adalah keturunan dari Kerajaan Haru, yang dalam bahasa Acehnya disebut suku Karee. Menurut H. Muhammad Said, dalam bukunya "Aceh Sepanjang Abad", (1981), menceritakan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari Batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya Tarich Atjeh dan Nusantara (1961), mengatakan bahwa di lembah Aceh Besar terdapat kerajaan Islam dan terdapat pula suatu Kerajaan Karo. Selanjutnya disebutkan bahwa penduduk asli di wilayah ini melakukan kawin-campur dengan suku Karo. Brahma Putra, dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman" mengatakan bahwa raja terakhir Kerajaan Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.

Kelompok masyarakat Karo di Aceh kemudian berubah sebutan menjadi Kaum Lhee Reutoih atau Kaum 300. Penamaan demikian berawal dari peristiwa perselisihan antara masyarakat Karo dengan suku Hindu Tamil di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang. Sebanyak 300 orang suku Karo akan berkelahi dengan 400 orang suku Hindu Tamil di suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat didamaikan dan sejak saat itu suku Karo di wilayah tersebut disebut sebagai kaum 300. Setelah sekian lama hidup di wilayah Aceh Besar ini , banyak terjadi kawin-campur antara suku Karo Kaum 300 dengan suku Hindu Tamil, dan dari hasil pembauran kawin-campur ini terbentuklah suatu kaum baru yang disebut sebagai kaum Ja Sandang. Di wilayah ini hidup juga beberapa suku lain seperti kaum Imeum Peuet dan kaum Tok Batee.

Dalam adat-istiadat suku Karo yang tetap dijunjung tinggi oleh masyarakat Karo adalah adat Rakut Sitelu atau Daliken Sitelu, yang berarti Ikatan Yang Tiga. Rakut Sitelu berarti adalah Sangkep Nggeluh atau Kelengkapan Hidup bagi orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah sistem sosial adat dalam masyarakat Karo terdiri dari tiga unsur, yaitu:
·         Kalimbubu (Kalimbubu, bermakna sebagai keluarga pemberi isteri)
·         Anak Beru (anak beru keluarga yang mengambil atau menerima isteri)
·         Senina (senina keluarga satu galur keturunan merga atau keluarga inti)

Selain ke tiga unsur sosial adat di atas, terdapat satu lagi konsep kekerabatan pada masyarakat Karo, yang berhubungan dengan penuturan yang disebut sebagai Tutur Siwaluh.
·         puang kalimbubu
·         kalimbubu
·         senina
·         sembuyak
·         senina sipemeren
·         senina sepengalon/sedalanen
·         anak beru
·         anak beru menteri

Pada masyarakat suku Karo juga terdapat aksara Karo, yang pada masa sekarang ini sudah tidak digunakan lagi pada masyarakat Karo. Aksara Karo ini adalah suatu Aksara Kuno yang walau tidak digunakan lagi, tetapi tetap terpelihara dengan baik pada masyarakat suku Karo.

Suku Karo terkenal dengan keahliannya dalam bercocok tanam. Daerah Tanah Karo sendiri terkenal menjadi pemasok bahan sayur-sayuran dan buah-buahan hampir ke seluruh wilayah Sumatra Utara hingga ke daerah Aceh. Selain itu di Tanah Karo juga banyak terdapat kebun kopi Arabica, milik rakyat yang terus berkembang. Masyarakat suku Karo pada umumnya hidup sebagai petani, terutama pada sayur-sayuran dan buah-buahan.


Batak Karo Song - Anak Medan

Batak Nadolok di Kab. Labuhanbatu Utara

SUKU BATAK NADOLOK
DI KAB. LABUHANBATU UTARA
by: Wendy Hutahaean




Penduduk asli di wilayah Labuhan Batu Utara merupakan suku Batak Nadolok yang menempati daerah sepanjang Sungai Kualuh namun tidak sampai ke muaranya di pantai Kualuh. Masyarakat Batak Nadolok merupakan keturunan Batak Toba yang bermigrasi di sepanjang aliran sungai Kualuh untuk mencari lahan pertanian baru akibat semakin sempitnya lahan di sekitar Danau Toba.

The Regions of Batak Nadolok

A.   Kehidupan Suku Batak Nadolok

Kemasyhuran Sungai Kualuh, adalah salah satu bukti peninggalan berbagai sejarah panjang kehidupan rakyat dimasa lalu, sebab dahulu sungai merupakan pusat  budaya kehidupan manusia untuk bertahan hidup, sejalan dengan sungai sebagai jalan tol bebas hambatannya manusia kala itu. Sungai Kualuh mengalir dari Parsoburan di Tapanuli Utara sampai ke Kualuh Leidong.

Diperkirakan Sungai Kualuh ini dahulu kala, menjadi salah satu jalur lalu lintas migrasi rakyat Batak dari Parsoburan, Porsea, Balige, Tapanuli Utara, umumnya ke kawasan pantai timur. Disamping itu, melalui darat migrasi terjadi melalui Tangga Damuli, mengarah ke kawasan Kecamatan Aek Natas dan Na IX-X. Maka sampai sekarang banyak masyarakat yang ada di Labura dari etnis Batak Toba.

Masyarakat Batak Nadolok yang hidup di daerah aliran sungai Kualuh bertetanga dengan masyarakat Batak Pardembanan yang hidup di sebelah utara di aliran sungai Asahan. Suku Batak Nadolok ini menurunkan marga Nadolok yang sampai saat ini masih dipakai sebahagian penduduk Batak Nadolok yang wilayah aslinya meliputi kecamatan NA IX-X, Aek Natas, Aek Kuo, dan Marbau di Kabupaten Labuhan Batu Utara sekarang.

B.   Penaklukan Sultan Asahan atas wilayah Batak Pardembanan dan Batak Nadolok

Pada tahun 1539 Sultan Aceh Sultan Mahkota Alam Alauddinriayatsyah (Syah Johan) ingin meminang Puteri Hijau di tanah Deli-Tua. Meskipun usahanya itu tidak berhasil karena Puteri Hijau lolos ke laut, maka bala tentera Aceh itu harus menyusuri pantai arah ke Selatan. Sesampainya di sebuah muara sungai besar, sungai Asahan, maka dimasukilah sungai itu mudik dan ternyata tidak ada ditemui penduduk. Sesampainya di kampung Tulawan, baru ditemui penduduk Batak yang tidak tahu bahasa Melayu. Untunglah disitu ada seorang hulubalang bernama Bayak Lengga Haro-haro yang tahu berbahasa Melayu, yang mengatakan bahwa Raja disitu adalah Kerajaan Simargolang Suku Batak Pardembanan. Sultan Aceh lalu menyuruh agar penduduk pindah ke pertemuan sungai Silau dengan sungai Asahan, dan kemudian lahirlah nama Tanjung Balai.

Singkat cerita, akhirnya Sultan Aceh Syah Johan ini menikah dengan putri raja Batak Kotapinang Batara Sinomba bernama Siti Onggu. Anak mereka bernama Sultan Abdul Jalil menjadi Sultan Asahan pertama yang tunduk di bawah kekuasaan Aceh yaitu ayahnya sendiri. Sebagai Sultan yang ingin memperluas wilayah kekuasaannya, dia berhasil menundukkan tiga Kerajaan Batak Pardembanan di wilayah hulu sungai Asahan termasuk menguasai wilayah sekitar hulu sungai Kualuh dan Leidong tempat bermukimnya suku Batak Nadolok.

Selama beberapa generasi Kesultanan Asahan menguasai wilayah Batak Pardembanan dan Batak Nadolok. Hingga pada saat Sultan Musa Shah meninggal pada 1808, meninggalkan seorang putra anumerta. Namun, aturan suksesi tidak memungkinkan satu hari untuk berlalu antara pemakaman mantan penguasa dan proklamasi penggantinya. Akibatnya, adiknya berhasil sebagai Syah Ali Raja '. Beberapa bangsawan, terutama mereka yang termasuk masyarakat Batak, tidak menerima penguasa baru. Raja Musa Shah bayi pangeran dibawa ke Kualuh dan memproklamirkan sebagai penguasa, akhirnya diterima sebagai penguasa atau Wakil Yang Dipertuan Muda di wilayah Kualuh. Itulah awal mula berdirinya Kesultanan Kualuh Leidong yang terpisah dari Asahan.

Sementara itu, putra Raja Ali Shah didirikan kebebasannya dari Aceh dan diberikan gelar Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah. Pemerintahan panjang empat puluh enam tahun menyaksikan meningkatkan kontak komersial Eropa, dan kesimpulan dari kontrak dengan pemerintah Hindia. Kematiannya pada 1859, diendapkan sengketa suksesi antara keturunan Raja Shah Musa dan orang-orang Shah Ali Raja '.

Hubungan yang buruk dengan Belanda tidak membantu Sultan Ahmad Shah. Mereka mengusirnya pada tahun 1865 dan memproklamirkan cucu Raja Musa Shah sebagai Shah Ni'matu'llah Sultan. Namun, langkah ini tidak menyelesaikan apa-apa, Sultan Ahmad Shah pindah pedalaman dan mempertahankan kekuasaannya, keluar dari jangkauan kapal perang Belanda. Sultan Ni'matu'llah tidak mampu membangun kekuasaannya, sehingga Belanda dihapus dia sebagai Sultan Asahan pada tahun 1868. Wilayah tanah lungguh yang setia Ni'matu'llah menjadi negara baru Kualuh. Setelah dua puluh tiga tahun bertempur intermiten dan diikuti oleh periode gencatan senjata dan jalan buntu, penyelesaian yang disepakati antara semua tiga partai pada tahun 1886. Gubernur-Jenderal Hindia diakui secara resmi sebagai Sultan Ahmad Shah Asahan sekali lagi.

Sultan Muhammad Shah II Husain Rahmad menggantikan ayahnya dua tahun kemudian dan memimpin periode kemakmuran ekonomi yang luas. Mati pada tahun 1915, putranya, Sultan Sha'ibun 'Abdu'l Jalil Rahmad Shah, berhasil di puncak boom karet Perang Besar. Ini janji awal dari sebuah pemerintahan menguntungkan jatuh pendek dalam tiga puluh tahun. Perang Dunia Kedua terbukti menjadi suatu DAS. Kekejaman Jepang dan penindasan kolonialisme Belanda diganti, hanya untuk digantikan oleh pertumpahan darah mengerikan yang lewat untuk "revolusi sosial". Kejahatan dari mereka kali tidak berakhir secepat Belanda berusaha untuk mendapatkan kembali kontrol sedangkan kaum republiken Jawa dan Aceh berusaha untuk mengusir Belanda. Sejumlah besar aristokrasi tewas dalam konflik, kekacauan memerintah tertinggi dan negara-negara semua tapi tidak berfungsi. Pada akhir permusuhan, kesultanan tidak dikembalikan tetapi diserap ke dalam Republik. Sultan tua tinggal di selama tiga puluh empat tahun, pemerintahan terpanjang dalam sejarah rumahnya.

Berbeda dengan penguasa tradisional di bagian lain di Indonesia, tidak ada kesultanan Sumatera telah dipulihkan atau kepala mereka diakui dalam. Namun demikian, kampanye yang kuat untuk pemulihan mereka terus di antara masyarakat Melayu, digagalkan oleh rasa takut pemisahan dan kemungkinan hilangnya pendapatan minyak yang berharga oleh pemerintah di Jakarta.

C.   Masyarakat Asli Labuhan Batu Utara adalah Suku Batak Nadolok, Bukan Melayu Kualuh

Dari keterangan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa penduduk asli Labuhan Batu Utara adalah Suku Batak Nadolok yang hidup di hulu Sungai Kualuh sebagai petani. Kedatangan Sultan Syah Johan dari Aceh, pada akhirnya meciptakan berdirinya Kesultanan Asahan melalui anaknya Sultan Abdul Jalil yang berhasil menginvasi wilayah Batak Pardembanan dan Batak Nadolok Sebagai bagian dari Kesultananan Asahan.


Traditional Clothes of Batak Nadolok

Gejolak kemudian muncul ketika Sultan Musa Syah meninggal dan tahta direbut paksa oleh Sultan Ali Syah. Masyarakat Kualuh termasuk Suku Batak Nadolok yang sudah menjadi Islam dan tunduk kepada kesultanan merasa tidak terima karena seharusnya anak kandung Sultan Musa Syah lah yang berhak menggantikan ayahnya sebagai sultan. Maka mereka membawa anaknya Sultan Musa Syah yang masih bayi dan menjadikannya Sultan Kualuh Lediong. Itulah tonggak berdirinya Kesultanan Kualuh Leidong.

Hanya keturunan asli Sultan Asahan yang menjadi Sultan Kualuh Leidong yang dapat dikategorikan sebagai Suku Aceh ataupun Melayu Kualuh dari sisi keturunan, itupun merupakan pendatang. Sementara itu Suku Batak Nadolok telah menetap jauh lebih dahulu dari kedatangan Sultan Aceh, apalagi Sultan pertama Kualuh Leidong.


Traditional Dance of Batak Nadolok

Sungai Kualuh ini berdasarkan letak geografisnya, dari sebelah hulu di Tapanuli Utara, namanya adalah Aek Kualuh. Sementara mulai dari kampung Aek Baringin sampai ke hilir di muara selat malaka dinamai Sungai (Sunge) Kualuh, ada perobahan  penamaan, mungkin penyesuaian karena dihilir penduduknya orang melayu. Namun tetap berlandaskan nama Kualuh, hanya ada perubahan antara kata Aek di hulu, dan kata Sungai (Sunge) di hilir.

Traditional Houses of Batak Nadolok

Asal-muasal nama Sungai Kualuh itu berdasarkan ada tujuh sungai mengalir yang bermuara ke Sungai Kualuh. Tujuh sungai itu berada di wilayah Labura. Adapun ketujuh sungai tersebut yang bermuara ke Sungai Kualuh adalah:

1.Sungai Air Hitam, (Sunge Ledong), 
2. Sungai Aek Kuo, 
3. Sungai Aek Kanopan, 
4. Sungai Aek Natas, 
5. Sungai Simangalam. 
6. Sungai Aek Rimo, dan 
7. Sungai Aek Tombus. 

Untuk Aek Rimo dan Aek Tombus menyatu di Kuala Beringin, kemudian bermuara ke Sungai Kualuh. Gabungan tujuh sungai yang bermuara ke induknya, yaitu Sungai  Kualuh, maka ada delapan sungai yang terdapat di Kesultanan Kualuh. Terkait dengan bahasa Batak Nadolok yang berada di hulu Sungai Kualuh, untuk angka delapan dilafazkan sebagai walu, karena adanya pengaruh budaya dan bahasa melayu yang kuat di hilir, maka sungai itu dinamai menjadi Sungai (Sunge) Kualuh.

Batak Nadolok Song - Labura Elok