BATAK PESISIR SERDANG PEOPLE
By: Wendy Hutahaean
Suku Karo Melayu Serdang adalah
penduduk Melayu yang sebetulnya berasal dari suku Batak Karo Jahe di
Kabupaten Deli Serdang, namun berpuluh tahun yang lalu memilih untuk
meleburkan diri dalam budaya Melayu Serdang dengan membuang marga serta
budaya Batak Karonya. Mereka umumnya tinggal di beberapa kecamatan
pesisir pantai Kabupaten Deli Serdang bekas Kesultanan Serdang. Bila
dilihat dari sisi fisik, postur masyarakat Karo Melayu Serdang sangat
berbeda dengan masyarakat Melayu Serdang asli yang berasal dari
Semenanjung Malaysia. Saat ini suku Karo Melayu Serdang lebih senang
disebut dengan suku Melayu Serdang saja.
Traditional Clothes of Karo Melayu Serdang |
A. Kesultanan Serdang
Kesultanan Serdang berdiri
tahun 1723 dan
bergabung dengan Republik Indonesia tahun 1946. Kesultanan ini
berpisah dari Deli setelah sengketa tahta kerajaan pada
tahun 1720.
Seperti kerajaan-kerajaan lain di pantai timur Sumatera, Serdang menjadi makmur
karena dibukanya perkebunan tembakau, karet, dan kelapa
sawit. Serdang ditaklukkan tentara Hindia
Belanda pada tahun 1865. Berdasarkan perjanjian yang ditandatangani tahun 1907, Serdang mengakui
kedaulatan Belanda, dan tidak berhak melakukan hubungan luar negeri dengan
negara lain. Dalam peristiwa revolusi sosial di Sumatera Timur tahun 1946, Sultan Serdang
saat itu menyerahkan kekuasaannya pada aparat Republik.
Kesultanan Serdang |
Wilayah kekuasaan Kesultanan
Serdang meliputi:
1.
Batang Kuis (Kec. Batang Kuis - Deli Serdang)
2.
Padang
3.
Bedagai (
4.
Percut (Kec. Percut Sei Tuan - Deli Serdang)
5.
Senembah,
6.
Araskabu dan
7.
Ramunia.
8.
Kemudian
wilayah Perbaungan juga masuk dalam
Kesultanan Serdang karena adanya ikatan perkawinan.1
Menurut riwayat,
seorang Laksamana dari Sultan Iskandar Muda Aceh bernama
Sri Paduka Gocah Pahlawan, bergelar Laksamana Khoja Bintan, menikah dengan adik
Raja Urung (negeri) Sunggal, sebuah daerah Batak Karo yang sudah masuk Melayu (sudah
masuk Islam). Kemudian, oleh 4 Raja-Raja Urung Batak Karo yang sudah Islam
tersebut, Laksamana ini diangkat menjadi raja di Deli pada
tahun 1630.
Dengan peristiwa itu, Kerajaan Deli telah resmi berdiri, dan Laksamana menjadi
Raja Deli pertama. Dalam proses penobatan Raja Deli tersebut, Raja Urung
Sunggal bertugas selaku Ulon Janji, yaitu mengucapkan taat setia dari
Orang-Orang Besar dan rakyat kepada raja. Kemudian, terbentuk pula Lembaga
Datuk Berempat, dan Raja Urung Sunggal merupakan salah seorang anggota Lembaga
Datuk Berempat tersebut.1
Dalam
perkembangannya, pada tahun 1723 terjadi kemelut ketika Tuanku Panglima Paderap, Raja
Deli ke-3 mangkat. Kemelut ini terjadi karena putera tertua Raja yang
seharusnya menggantikannya memiliki cacat di matanya, sehingga tidak bisa
menjadi raja. Putera nomor 2, Tuanku Pasutan yang sangat berambisi menjadi raja
kemudian mengambil alih tahta dan mengusir adiknya, Tuanku Umar bersama
ibundanya Permaisuri Tuanku Puan Sampali ke wilayah Serdang.1
Menurut adat Melayu,
sebenarnya Tuanku Umar yang seharusnya menggantikan ayahnya menjadi Raja Deli,
karena ia putera garaha (permaisuri), sementara Tuanku Pasutan hanya dari
selir. Tetapi, karena masih di bawah umur, Tuanku Umar akhirnya tersingkir dari
Deli. Untuk menghindari agar tidak terjadi perang saudara, maka 2 Orang Besar
Deli, yaitu Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembal, bersama seorang Raja
Urung Batak Timur di wilayah Serdang bagian hulu (Tanjong Merawa), dan seorang
pembesar dari Aceh (Kejeruan Lumu), lalu merajakan Tuanku Umar sebagai Raja
Serdang pertama tahun 1723. Sejak saat itu, berdiri Kerajaan Serdang sebagai pecahan
dari Kerajaan Deli.1
Kerajaan Serdang
berdiri lebih dari dua abad, dari 1723 hingga 1946. Selama periode
itu, telah berkuasa 5 orang Sultan. Sultan Serdang I adalah Tuanku Umar,
kemudian ia digantikan oleh Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah (1767-1817).
Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah beristerikan Tuangku Sri Alam, puteri
Raja Perbaungan. Di masa Sultan Ainan Johan
ini, terjadi penyatuan Kerajaan Serdang dan Perbaungan. Ceritanya, sewaktu
Raja Perbaungan meninggal dunia, tidak
ada orang yang berhak menggantikannya, sebab ia tidak memiliki anak laki-laki.
Oleh karena anak perempuan Raja Perbaungan menikah dengan Sultan
Serdang, maka akhirnya, Kerajaan Perbaungan digabung dengan
Serdang. Jadi, penggabungan ini berlangsung semata-mata karena adanya hubungan
kekerabatan, bukan karena peperangan.
Putera Ainan Johan
Almashah yang tertua, Tuangku Zainal Abidin, diangkat menjadi Tengku Besar.
Suatu ketika ia pergi berperang membantu mertuanya yang sedang terlibat perang
saudara merebut tahta Langkat. Dalam peperangan membela mertuanya tersebut, ia
terbunuh di Pungai (Langkat) dan digelar Marhom Mangkat di Pungai (1815). Untuk
menggantikan putera mahkota (di Serdang disebut Tengku Besar) yang tewas, maka,
adik putera mahkota, yaitu Tuanku Thaf Sinar Basyarshah kemudian diangkat
sebagai penggantinya, dengan gelar yang sama: Tengku Besar. Ketika
Sultan Johan Alamshah mangkat tahun 1817, adik Tuangku Zainal Abidin, yaitu
Tuanku Sultan Thaf Sinar Basarsyah (memerintah 1817-1850) diangkat oleh Dewan
Orang Besar menjadi raja menggantikan ayahnya. Ketika itu, sebenarnya Tuanku
Zainal Abidin, Tengku Besar yang sudah tewas, memiliki putera, namun puteranya
ini tidak berhak menjadi raja, sebab, ketika ayahnya meninggal dunia, statusnya
masih sebagai Tengku Besar, bukan raja. Jadi, menurut adat Melayu Serdang,
keturunan putera tertua tidak otomatis menjadi raja, karena sebab-sebab
tertentu.1
Demikianlah,
pemerintahan baru berganti dan keadaan terus berubah. Pada tahun 1865, Serdang
ditaklukkan oleh Belanda. Selanjutnya, pada tahun 1907, Serdang menandatangani
perjanjian dengan Belanda yang melarang Serdang berhubungan dengan negeri
luar. Setelah bertahun-tahun dalam pengaruh Belanda, akhirnya, pada tahun 1946, pada masa
pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamshah, Serdang bergabung dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.1
Struktur tertinggi di
Kerajaan Serdang dipimpin oleh seorang Raja. Pada masa itu, peranan seorang
raja adalah:1
1.
Sebagai
Kepala Pemerintahan Kerajaan Serdang.
2.
Sebagai
Kepala Agama Islam (Khalifatullah fi’l ardh)
3.
Sebagai
Kepala Adat Melayu.
Pada masa
pemerintahan raja yang ke-2, Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah (1767-1817),
tersusunlah Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang yang berpangkat Wazir
Sultan, yaitu:1
1.
Raja
Muda (gelar ini kemudian berubah menjadi Bendahara)
2.
Datok
Maha Menteri (wilayahnya di Araskabu)
3.
Datok
Paduka Raja (wilayahnya di Batangkuwis) keturunan Kejeruan Lumu
4.
Sri
Maharaja (wilayahnya di Ramunia).
Pembentukan Lembaga
Orang Besar Berempat di Serdang ini, disebabkan Raja Urung Sunggal kembali ke
Deli, sementara Raja Urung Senembah dan Raja Urung Tg. Merawa tetap menjadi
raja di wilayah taklukan Serdang. Sultan Ainan Johan Almashah memperkokoh
Lembaga Empat Orang Besar di atas berdasarkan fenomena alam dan hewan yang
melambangkan kekuatan, seperti 4 penjuru mata angin (barat, timur, selatan,
utara), kokohnya 4 kaki binatang dan azas Tungku Sejarangan (4 batu penyangga
untuk masak makanan). Lembaga itu juga melambangkan sendi kekeluargaan pada masyarakat
Melayu Sumatera Timur yaitu: suami, isteri, anak beru (menantu) dan Puang
(mertua). Demikianlah, pembentukan lembaga di atas didasarkan pada akar budaya
masyarakat Serdang sendiri. Selanjutnya, lembaga inilah yang berperan dalam
upacara perkawinan maupun perhelatan besar.1
Selain para pejabat
istana di atas, Sultan juga dibantu oleh Syahbandar (perdagangan) dan
Temenggong (Kepala polisi dan keamanan). Sultan Serdang menjalankan hukum
kepada rakyat berdasarkan Hukum Syariah Islam dan Hukum Adat seperti kata pepatah,
“Adat bersendikan Hukum Syara, Hukum Syara’ bersendikan Kitabullah”.
·
1728-1782 Tuanku Umar Johan Pahlawan Alam
Syah bin Tuanku Panglima Paderap Kejeruan Junjungan, Raja Serdang
·
1782-1822 Tuanku
Ainan Johan Pahlawan Alam Syah ibni al-Marhum Tuanku Umar Al-Marhum
Kacapuri, Raja Serdang.
·
1822-1851 Sultan Thaf
Sinar Basyar Syah ibni al-Marhum Tuanku Ainan Johan Pahlawan Alam Shah
Al-Marhum Besar, Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
·
1851-1879 Sri
Sultan Muhammad Bashar ud-din Saif ul-'Alam Shah ibni al-Marhum Sultan
Thaf Sinar Bashar Shah Al-Marhum Kota Batu, Sultan dan Yang di-Pertuan Besar
Serdang
·
1879-1946 Sri Sultan
Tuanku Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah ibni al-Marhum Sultan Bashar
un-din Al-Marhum Perbaungan, Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
·
1946-1960 Tuanku Rajih
Anwar ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Tengku Putra
Mahkota, Kepala Rumah Tangga Istana Serdang
·
1960-2001 Sri Sultan
Tuanku Abu Nawar Sharifu'llah Alam Shah al-Haj ibni al-Marhum Sultan Sulaiman
Sharif ul-'Alam Shah, Sultan dan Kepala Rumah Tangga Istana Serdang
·
2001 Sri Sultan
Tuanku Lukman Sinar Bashar Shah II ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif
ul-'Alam Shah, Sultan dan Kepala Rumah Tangga Istana Serdang.
Penulisan sejarah
yang terlalu berorientasi politik, dengan titik fokus raja, keluarganya dan
para pembesar istana menyebabkan sisi kehidupan sosial masyarakat awam jadi
terlupakan. Oleh karena itu, bukanlah pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan
data mengenai kehidupan sosial-budaya pada suatu kerajaan secara lengkap.
Berikut ini, sedikit gambaran mengenai kehidupan sosial budaya di Kerajaan
Serdang pada periode pemerintahan Sultan Thaf Sinar Basyar Syah.1
Di masa
pemerintahannya, Serdang menjadi aman tenteram dan makmur karena perdagangan
yang ramai. Ketika utusan Kerajaan
Inggris dari Penang, Johan Anderson, mengunjungi Serdang tahun 1823, ia mencatat:1
1.
Perdagangan
antara Serdang dengan Pulau Pinang sangat ramai (terutama lada dan hasil
hutan).
2.
Sultan
Thaf Sinar Basyar Syah (juga bergelar Sultan Besar) memerintah dengan lemah
lembut, suka memajukan ilmu pengetahuan dan mempunyai sendiri kapal dagang pribadi.
3.
Industri
rakyat dimajukan dan banyak pedagang dari pantai barat Sumatera (orang Alas)
yang melintasi pegunungan Bukit Barisan menjual dagangannya ke luar negeri
melalui Serdang.
4.
Baginda
sangat toleran dan suka bermusyawarah dengan negeri-negeri yang tunduk kepada
Serdang, termasuk orang-orang Batak dari Pedalaman.
5.
Cukai
di Serdang cukup moderat.
Semua hal di atas
bisa terjadi karena Sultan berpegang teguh pada pepatah adat Melayu. Di antara
pepatah dan adat tersebut adalah:
·
secukap
menjadi segantang, yang keras dibuat ladang, yang becek dilepaskan itik, air
yang dalam diperlihara ikan;
·
genggam
bara, biar sampai menjadi arang (sabar menderita mencapai kejayaan);
·
cencaru
makan petang, bagai lebah menghimpun madu (meskipun lambat tetapi kerja keras
maka pembangunan terlaksana);
·
hati
Gajah sama dilapah, hati kuman sama dicecah (melaksanakan kerja pembangunan
dengan berhasil baik bersama-sama).
Dalam
perkembangannya, karena Sultan Thaf Sinar Basyar Syah ini amat berpegang teguh
pada adat Melayu disertai sikap lemah lembut dan sopan, akhirnya banyak rakyat Batak di
pedalaman yang masuk Melayu (Islam). Atas dasar jasa-jasanya, maka, ketika Sultan Thaf Sinar
Basarshah mangkat pada tahun 1850, para Orang Besar dan rakyat Serdang memberikan
penghormatan untuknya dengan gelar Marhom Besar.1
Wilayah Batak Karo Dusun di Kabupaten Deli Serdang terdiri dari beberapa kecamatan, yaitu:
11. Kec. Deli Tua
12. Kec. Patumbak
Suku
Batak Karo Dusun ini hidup berdampingan dengan masyarakat Karo Melayu
Deli, yaitu suku suku Batak Karo Dusun yang memilih menjadi Melayu Deli
dan membuang marga serta adat Batak Karo. Suku Karo Melayu Deli ini menempati beberapa kecamatan di pesisir pantai Deli Serdang, yaitu:
1. Kec. Biru-Biru
2. Kec. Tanjong Morawa
3. Kec. Hamparan Perak
4. Kec. Sinembah Tanjung Muda Hilir
5. Kec. Sinembah Tanjung Muda Hulu
6. Kec. Kutalimbaru
7. Kec. Sunggal
8. Kec. Pancur Batu
9. Kec. Sibolangit
10. Kec. Namo Rambe11. Kec. Deli Tua
12. Kec. Patumbak
Sedangkan
di Kecamatan Silimakuta dan Kecamatan Dolok Silau serta empat kecamatan
bagian timur Kabupaten Deli Serdang ditempati oleh suku Batak Karo
Timur. Wilayah suku Batak Karo Timur di Kabupaten Deli Serdang yaitu:
1. Kec. Lubuk Pakam (Kabupaten Deli Serdang)
2. Kec. Bangun Purba (Kabupaten Deli Serdang)
3. Kec. Galang (Kabupaten Deli Serdang)
4. Kec. Gunung Meriah (Kabupaten Deli Serdang)
5. Kec. Dolok Silau (Kabupaten Simalungun)
6. Kec. Silima Kuta (Kabupaten Simalungun)
1. Kec. Batang Kuis
2. Kec. Beringin
3. Kec. Labuhan Deli
4. Kec. Pagar Merbau
5. Kec. Pantai Labu
6. Kec. Percut Sei Tuan
Suku Melayu Serdang adalah suku Melayu yang mendiami wilayah kabupaten Serdang Bedagai di provinsi Sumatra Utara. Suku Melayu Serdang ini banyak bermukim di wilayah Perbaungan, Sei Rampah, Bandar Kalipah dan lain-lain tersebar di seluruh kecamatan yang berada di kabupaten Serdang Bedagai provinsi Sumatra Utara.
Traditional Clothes of Melayu Serdang |
Secara struktur fisik dan budaya, suku Melayu Serdang ini
tidaklah berbeda dengan suku Melayu lainnya, seperti suku Melayu Deli, Melayu
Langkat, Melayu Asahan, Melayu Labuhan Batu, Melayu Asahan dan Melayu Riau.
Karena mereka semua berasal dan berakar dari satu budaya yang sama, hanya saja
karena telah terpisah-pisah, sehingga terjadi perbedaan-perbedaan kecil yang
tidak terlalu menyolok.
Suku Melayu Serdang, masih tetap mempertahankan budaya
Melayu sejak tahun 1941. Salah satu kegiatan mereka yang selalu mengadakan
rapat adat yang diadakan di balai adat, untuk membahas berbagai masalah dalam
lingkungan adat mereka.
Salah satu budaya tari dari suku Melayu Serdang yang
terkenal adalah Tari Serampang Dua Belas. Tarian ini merupakan tarian
tradisional Melayu yang berkembang di bawah Kesultanan Serdang. Tarian ini
diciptakan oleh Sauti pada tahun 1940-an dan digubah ulang oleh penciptanya
antara tahun 1950-1960. Sebelum bernama Serampang Duabelas, tarian ini bernama
Tari Pulau Sari, sesuai dengan judul lagu yang mengiringi tarian ini, yaitu
lagu Pulau Sari.
Masyarakat suku Melayu Serdang, hampir seluruhnya memeluk
agama Islam, seperti masyarakat Melayu lainnya yang menjadikan agama Islam
sebagai agama Melayu dan agama Adat, beberapa budaya dan adat-istiadat
disesuaikan dengan ajaran Islam. Tapi walaupun begitu mereka masih mempercayai
berbagai hal takhyul dan hal-hal gaib serta tempat-tempat keramat yang menurut
mereka bisa mempengaruhi kehidupan dan rejeki mereka.
Suku Melayu Serdang berbicara menggunakan bahasa Melayu
dialek Serdang. Bahasa Melayu Serdang, berbeda dengan bahasa Melayu Deli dalam
hal dialek, tapi hampir sama dengan bahasa Melayu Langkat yang menggunakan
dialek "e".
Salah satu tradisi budaya suku Melayu Serdang, adalah
Tradisi Tepung Tawar. Tradisi ini terlihat bahwa dahulunya suku Melayu Serdang
ini pernah memeluk agama Hindu atau pernah terlibat dengan budaya Hindu. Tradsi
ini sebagai upacara untuk mengungkapkan rasa syukur akan sesuatu yang mereka
dapatkan dengan melaksanakan upacara yang disebut Tepung Tawar. Tradisi ini
dilaksanakan oleh masyarakat Melayu Serdang sejak abad ke-15 dan dirubah dan disesuaikan
dengan tatacara agama Islam.
Mata pencaharian suku Melayu Serdang adalah sebagian
besar sebagai petani, selebihnya pedagang, perajin anyaman tikar, perajin atap
rumbia dan perajin keranjang bumbu. Mereka juga berdagang pisang sale. Selain
itu banyak juga dari mereka yang menjadi pegawai negeri di kantor-kantor
pemerintah serta menjadi wiraswasta.
Melayu Serdang Song - Zapin Serdang
Melayu Serdang Dance - Tari Serampang Duabelas
Karo bukan Batak/Batak Karo!
ReplyDelete