BATAK ALAS PEOPLE
by: Wendy Hutahaean
Batak Alas People or sometimes called Alas People is a Batak ethnic that live in Kabupaten Aceh Tenggara. The name "Alas" means pedestal related to the geographical of Batak Alas Land that streched flat like a mat on the sidelines of Bukit Barisan Mountain. Besides that, the land has some rivers which one of them named Alas River. Total population of Batak Alas people is 60,000 people and 51,240 of its people live in Kabupaten Aceh Tenggara.
Traditional Clothes of Batak Alas |
A. The Land
B. Marga
The land of Batak Alas covered some districts of Kabupaten Aceh Tenggara, which are:
1. Kec. Lawe
Alas, capital in Ngkeran
2. Kec. Babul
Rahmah, capital in Lawe Sumur
3.
Kec. Tanoh Alas, capital in Tenembak Alas
4.
Kec. Lawe Sigala-gala, capital in Lawe Sigala
5.
Kec. Babul Makmur, capital in Sejahtera
6.
Kec. Semadam, capital in Simpang Semadam
7.
Kec. Leuser, capital in Kene Mende
8.
Kec. Bambel, capital in Kuta Langlang
9.
Kec. Bukit Tusam, capital in Lawe Dua
10. Kec. Lawe
Sumur, capital in Lawe Perlak
11. Kec. Babussalam, capital
in Kutacane
12. Kec. Lawe
Bulan, capital in Simpang Empat
13. Kec. Badar, capital
in Purwodadi
14. Kec. Darul
Hasanah, capital in Mamas
15. Kec. Ketambe, capital
in Lawe Beringin
16. Kec. Delleng
Pokhisen, capital in Beriring Naru
Kabupaten Aceh Tenggara |
B. Marga
Batak Alas people have "marga" that shows the identity of their original ancestor
or family. This familiy name is derived from father lineage
(patrilineal) that will be continued to his male descent continiously.
Female descent will follow the family name of her husband after mariage.
The example of "marga" in Batak Alas that live in
Kabupaten Aceh Tenggara are:
1. Marga Bangko,
2. Marga Deski,
3. Marga Keling,
4. Marga Kepale
Dese,
5. Marga Keruas,
6. Marga Pagan,
7. Marga Selian
Besides that, the acculturation between Batak Alas people and other Batak people creates some marga, such as:
1. Marga Acih,
2. Marga Beruh,
3. Marga Gale,
4. Marga Kekaro,
5. Marga Mahe,
6. Marga Menalu,
7. Marga Mencawan,
8. Marga Munthe,
9. Marga Pase,
10. Marga Pelis,
11. Marga Pinim,
12. Marga Ramin,
13. Marga Ramud,
14. Marga Sambo,
15. Marga Sekedang,
16. Marga Sugihen,
17. Marga Sepayung,
18. Marga Sebayang,
19. Marga Terigan.
C. Language
Bahasa Alas,
adalah merupakan bahasa masyarakat di Tanah Alas (Aceh Tenggara).
Bahasa ini bertalian erat dengan Bahasa Kluet (Aceh Selatan), Bahasa
Singkil-Julu (Aceh Singkil), Bahasa Batak Pakpak dan Bahasa Batak Karo
di Sumatera Utara. Bahasa
Alas memiliki tiga dialek, yaitu dialek Hulu dipakai di kecamatan
Badar, dialek Hilir dipakai di kecamatan Bambel dan dialek Tengah
dipakai di kecamatan Babussalam dan Lawe Alas. Perbedaan
dari ketiga dialeg ini hanya sedikit sekali, yaitu: bila ditinjau dari
segi intonasi pemakaian bahasa Alas di kecamatan Badar lebih halus,
sedang di daerah kecamatan Babussalam, Lawe sigala-gala dalam kategori
sedang. Sedangkan di kecamatan Bambel kasar. Selain itu, dalam bahasa
Alas juga, ditemukan tingkat bahasa, meskipun hanya ditemukan pada
beberapa kata.
Traditional Dance of Batak Alas |
Bahasa Alas, selengkapnya bahasa Batak Alas-Kluet untuk para linguist, dimasukkan dalam kelompok bahasa Batak, walau dari segi budaya dan jati diri orang Alas tidak melihat dirinya sebagai orang Batak.
D. Religion
Suku Alas 100% adalah penganut agama Islam. Namun masih ada juga yang mempercayai praktik perdukunan misalnya dalam kegiatan pertanian. Mereka melakukan upacara-upacara dengan latar belakang kepercayaan tertentu agar pertanian mereka mendatangkan hasil baik atau terhindar dari hama.
Kampung atau desa orang Alas disebut kute. Suatu kute biasanya didiami oleh satu atau beberapa klan, yang disebut merge.
Anggota satu merge berasal dari satu nenek moyang yang sama. Pola hidup
kekeluargaan mereka adalah kebersamaan dan persatuan. Mereka menarik
garis keturunan patrilineal, artinya garis keturunan laki-laki. Mereka
juga menganut adat eksogami merge, artinya jodoh harus dicari di merge
lain.
E. History
E. History
Ukhang
Alas atau khang Alas atau Kalak Alas telah bermukim di lembah Alas,
jauh sebelum Pemerintah Kolonial Belanda masuk ke Indonesia dimana
keadaan penduduk lembah Alas telah diabadikan dalam sebuah buku yang
dikarang oleh seorang bangsa Belanda bernama Radermacher (1781:8), bila
dilihat dari catatan sejarah masuknya Islam ke Tanah Alas, pada tahun
1325 (Effendy, 1960:26) maka jelas penduduk ini sudah ada walaupun masih
bersifat nomaden dengan menganut kepercayaan animisme. Nama
Alas diperuntukan bagi seorang atau kelompok etnis, sedangkan daerah
Alas disebut dengan kata Tanoh Alas. Menurut Kreemer (1922:64) kata
"Alas" berasal dari nama seorang kepala etnis (cucu dari Raja Lambing),
beliau bermukim di desa paling tua di Tanoh Alas yaitu Desa Batu Mbulan.
Menurut
Iwabuchi (1994:10) Raja yang pertama kali bermukim di Tanoh Alas adalah
terdapat di Desa Batumbulan yang dikenal dengan nama RAJA LAMBING yaitu
keturunan dari RAJA LOTUNG atau dikenal dengan cucu dari GURU TATAE
BULAN dari Samosir Tanah Batak, Tatae Bulan adalah saudara kandung dari
RAJA SUMBA. Guru Tatae Bulan mempunyai lima orang anak, yaitu Raja Uti,
Saribu Raja, Limbong, Sagala, dan Silau Raja. Saribu Raja adalah
merupakan orang tuanya Raja Borbor dan Raja Lontung. Raja Lontung
mempuyai tujuh orang anak yaitu, Sinaga, Situmorang, Pandiangan,
Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar atau yang dikenal dengan
siampudan atau payampulan. Pandiangan merupakan moyangnya Pande, Suhut
Nihuta, Gultom, Samosir, Harianja, Pakpahan, Sitinjak, Solin di
Dairi, Sebayang di Tanah Karo, dan SELIAN di Tanah Alas, Keluet di Aceh
Selatan.
Raja
Lambing adalah moyang dari merga Sebayang di Tanah Karo dan Selian di
Tanah Alas. Raja Lambing merupakan anak yang paling bungsu dari tiga
bersaudara yaitu abangnya tertua adalah Raja Patuha di Dairi, dan nomor
dua adalah Raja Enggang yang hijrah ke Kluet Aceh Selatan, keturunan dan
pengikutnya adalah merga Pinem atau Pinim. Kemudian
Raja Lambing hijrah ke Tanah Karo dimana keturunan dan pengikutnya
adalah merga Sebayang dengan wilayah dari Tigabinanga hingga ke perbesi
dan Gugung Kabupaten Karo.
Diperkirakan
pada abad ke 12 Raja Lambing hijrah dari Tanah Karo ke Tanah Alas, dan
bermukim di Desa Batumbulan, keturunan dan pengikutnya adalah merga
Selian. Di Tanah Alas Raja Lambing mempunyai tiga orang anak yaitu Raja
Lelo (Raje Lele) keturunan dan pengikutnya ada di Ngkeran, kemudian Raja
Adeh yang merupakan moyangnya dan pengikutnya orang Kertan, dan yang
ketiga adalah Raje Kaye yang keturunannya bermukim di Batumbulan,
termasuk Bathin. Keturuan Raje Lambing di Tanah Alas hingga tahun 2000,
telah mempuyai keturunan ke 26 yang bermukim tersebar diwilayah Tanah
Alas (Effendy, 1960:36; sebayang 1986:17).
Setelah
Raja Lambing kemudian menyusul Raja Dewa yang istrinya merupakan putri
dari Raja Lambing. Raja Lambing menyerahkan tampuk kepemimpinan Raja
kepada Raja Dewa (menantunya). Yang dikenal dengan nama Malik Ibrahim,
yaitu pembawa ajaran Islam yang termashur ke Tanah Alas. Bukti situs
sejarah ini masih terdapat di Muara Lawe Sikap, desa Batumbulan. Malik
Ibrahim mempunyai satu orang putera yang diberinama ALAS dan hingga
tahun 2000 telah mempunyai keturunan ke 27 yang bermukim di wilayah
Kabupaten Aceh Tenggara, Banda Aceh, Medan, Malaysia dan tempat lainnya.
Ada
hal yang menarik perhatian kesepakatan antara putera Raja Lambing (Raja
Adeh, Raja Kaye dan Raje Lele) dengan putra Raja Dewa (Raja Alas) bahwa
syi’ar Islam yang dibawa oleh Raja Dewa diterima oleh seluruh kalangan
masyarakat Alas, tetapi adat istiadat yang dipunyai oleh Raja Lambing
tetap di pakai bersama. Ringkasnya, hidup
dikandung adat mati dikandung hukum (Islam) oleh sebab itu jelas bahwa
asimilasi antara adat istiadat dengan kebudayaan suku Alas telah
berlangsung sejak ratusan tahun lalu.
Pada
awal kedatanganya Malik Ibrahim migrasi melalui pesisir bagian timur
(Pasai) sebelum ada kesepakatan diatas, ia masih memegang budaya
matrealistik dari minang kabau, sehingga puteranya Raja Alas sebagai
pewaris kerajaan mengikuti garis keturunan dan merga pihak ibu yaitu
Selian. Setelah Raja Alas menerima asimilasi dari Raja Lambing dengan
ajaran Islam, maka sejak itulah mulai menetap keturunannya menetap garis
keturunannya mengikuti garis Ayah. Raja Alas juga dikenal sebagai
pewaris kerajaan, karena banyaknya harta warisan yang diwariskan oleh
ayah dan kakeknya sejak itulah dikenal dengan sebutan Tanoh Alas.
Setelah kehadiran Selian di Batumbulan, muncul lagi kerajaan lain yang
di kenal dengan Sekedang yang basis wilayahnya meliputi Bambel hingga ke
Lawe Sumur. Raja sekedang menurut beberapa informasi pada awal
kehadiranya di Tanah Alas adalah untuk mencari orang tuanya yaitu RAJA
DEWA yang migran ke Tanah Alas. Raja Sekedang yang merupakan pertama
sekali datang ke Tanah Alas diperkirakan ada pertengahan abad ke 13 yang
lalu yaitu bernama NAZARUDIN yang dikenal dengan panggilan DATUK RAMBUT
yang datang dari Pasai.
Pendatang
berikutnya semasa Raja Alas yaitu kelompok Megit Ali dari Aceh pesisir
dan keturunannya berkembang di Biak Muli yang dikenal dengan merga
Beruh. Lalu terjadi migran berikutnya yang membentuk beberapa marga,
namun mereka tetap merupakan pemekaran dari Batumbulan, penduduk
Batumbulan mempuyai beberapa kelompok atau merga yang meliputi Pale Dese
yang bermukim di bagian barat laut Batumbulan yaitu terutung pedi, lalu
hadir kelompok Selian, datang kelompok Sinaga, Keruas dan Pagan
disamping itu bergabung lagi marga Munthe, Pinim dan Karo-Karo. Marga
Pale Dese merupakan penduduk yang pertama sekali menduduki Tanah Alas,
namun tidak punya kerajaan yang tercatat dalam sejarah. Kemudian hadir
pula Deski yang bermukim di kampong ujung barat.
Menurut
Bernard H.M Vlekke "Nusantara : A History of Indonesia" Diterjemahkan
oleh : Samsudin Berlin (Nusantara: Sejarah Indonesia) Dicetak oleh : PT
Gramedia, Jakarta, Cet 4, 2008. Kepulauan
Indonesia terletak di jalur laut utama antara Asia bagian timur dan
selatan. Dalam wilayah antara seperti ini, dengan sendirinya bias
diperkirakan akan terdapat populasi dengan beragam asal-usul.
Penemuan antropologis menambahkan banyak kerumitan pada studi mengenai
masalah asal-usul manusia dalam gugusan pulau itu. Pada 1890 Dr. Eugene
Dubolis menemukan sisa-sisa sebuah kerangka yang tampaknya saat itu
tidak dapat diklasifikasikan sebagai kera atau manusia. Diskusi-diskusi
ilmiah mengenai sisa-sisa "Pithecanthopus erectus" (nama yang disarankan
Dubois) menghasilkan kesimpulan yang tidak pasti. Untuk waktu lama,
hanya sedikit penemuan baru yang bias menjelaskan masalah sulit ini.
Tapi 40 tahun kemudian, gambaran ini tiba-tiba berubah. Antara 1931 dan
1941, antropolog Oppenoorth dan Von Koenigswald menemukan fosil
sisa-sisa beberapa jenis manusia purba yang berasal dari Kala Pleistosen
awal atau pertengahan. Semua penemuan ini terjadi di sekitar Surakarta
di Jawa Tenggah. Penemuan itu ternyata sangat penting bagi antropologi
dan biologi pada umumnya. Tapi tidak berarti bagi sejarah Indonesia.
Orang-orang Indonesia zaman purba adalah keturunan imigran dari benua
Asia. Antara zaman Pithecanthpopus dan tibanya para imigran mungkin ada
sepanjang waktu ribuan abad.
Ada
beberapa teori mengenai perkembangan etnologis Indonesia. Keadaan
linguistik dan etnisnya sangat kompleks. Beberapa ratusan bahasa ditutut
di kepulauan Indonesia, dan sering kali beberapa bahasa dipakai di satu
pulau kecil. Penduduk satu wilayah kecil bisa terdiri
atas fenotipe yang sangat berbeda. Tidak ada satu pulau, betapun
kecilnya, yang penduduknya tidak campur-baur, dan di semua pulau besar
(kecuali jawa) kita temukan suku-suku bangsa primitive hidup
berdampingan dengan orang-orang dengan derajat peradapan tinggi. Salah
satu aspek paling mencolok dari masalah ini ialah bahwa di setiap pulau
besar ada perbedaan besar antara penduduk wilayah pantai dan pedalaman.
P. dan F. Sarasin bersaudara, penjelajah terkenal pedalaman Sulawesi,
adalah ilmuan-ilmuan pertama yang merumuskan suatu teori yang masuk akal
tentang peradapan antara suku-suku bangsa pedalaman dengan penduduk
pantai ini. Teori ini kemudian dikembangkan lagi oleh
antropologi-antropologi lain. Teori Sarasin bersaudara ini adalah bahwa
populasi asli kepulauan Indonesia adalah orang dengan fenotipe bkulit
gelap dan tubuh kecil, dan bahwa kelompok ini awalnya mendiami seluruh
Asia bagian tenggara. Pada waktu itu wilayah itu adalah satu daratan
yang solid. Tentu saja, es dari periode glasia tidak pernah menutupi
pulau-pulau Hindia Timur itu, tapi pada penghujung periode glacial yang
terakhir level laut naik begitu tinggi sehingga laut cina Selatan dan
Laut Jawa terbentuk dan memisahkan wilayah pegunungan vulkanik Indonesia
dari daratan utama. Sia-sia penduduk asli yang terpisah-pisah dianggap
masih tinggal di daerah-daerah pedalaman, sementara daerah-daerah pantai
yang baru terbentuk dihuni oleh pendatang-pendatang baru. Sarasin
bersaudara menyebut keturunan orang asli itu orang Vedda, menurut nama
salah satu kelompok paling terkenal yang masuk dalam kelompok ini, orang
Hieng di Kamboja, Miao-tse dan Yao-jen di Cina, serta Senoi di
semenanjung Malaya. Di kepulauan Indonesia terdapat orang yang tinggal
di hutan Sumatera (Kubu, Lubu, dan Mamak) serta Toala di Sulawesi. Riset
di kemudian hari memungkinkan penguraian lebih jauh terhadap benang
ruwet yang membentuk pola antropologis Indonesia. Kumpulan bukti
antropologis dan arkeologis tampaknya menunjukkan bahwa populasi tertua
kepulauan Indonesia berhubungan erat dengan nenek moyang Melanesia masa
kini dan bahwa “orang Vedda” yang disebutkan Sarasin tersebut termasuk
apa yang saat itu dinamakan "ras Negrito" yang walaupun jarang, masih
terdapat di seluruh Afrika, Asia Selatan, dan Oceania. Jadi Vedda adalah
“imigrasi” pertama yang masuk ke dunia pulau yang sudah berpenghuni dan
masih dapat dibedakan dari pendahulu mereka berkat model perkakas batu
yang mereka tinggalkan. Kedua populasi itu dikatakan hidup di
tahap Mesolitik.
Lama
setelah tibanya orang Negrito, datang populasi baru ke Indonesia.
Budaya mereka tipe Neolitik dan permukiman awal mereka yang menyerupai
gerabah Cina kuno. Hari ini pun orang dari kelompok awal ini pemalu dan
jarang terlihat, kecuali didatangi ditempat mereka di pedalaman yang
masih liar. Mereka tidak punya pilihan lain kecuali melebur atau musnah.
Sarasin
bersaudara menyebut pendatang baru itu terdiri dari dua gelombang,
Melayu Proto dan Melayu Deutero. Karena kedatangan mereka dalam dua
gelombang migrasi, terpisah dalam waktu tenggang yang menurut perkiraan
lebih dari 2.000 tahun. Melayu Proto diyakini adalah nenek monyang
mungkin dari semua orang yang kini dianggap masuk kelompok Melayu
Polinesia yang tersebar dari Madagaskar sampai pulau-pulau paling timur
di pasifik, mereka diperkirakan bermigrasi ke Kepulauan Indonesia dari
Cina bagian selatan. Di Cina ditempat tinggal asli mereka diperkirakan
berada di wilayah yang secara kasar termasuk dalam provinsi Yunnan
sekarang. Dari situ mereka bermigrasi ke Indonesia dan Siam dan kemudian
ke Kepulauan Indonesia. Kedatangan mereka tampaknya bersamaan dengan
munculnya perkakas neolitik pertama di Indonesia dan dengan demikian
dapat di tentukan pada sekitar 3.000 SM. Menurut teori Sarasin,
keturunan Melayu Proto pada gilirannya terdesak ke pedalaman oleh
datangnya imigran baru, Melayu Deutero, yang juga berasal dari Indocina
bagian utara dan wilayah sekitarnya. Melayu Deutero diidentifikasikan
dengan orang yang memperkenalkan perkakas dan senjata besi kedunia
kepulauan Indonesia. Studi mengenai perkembangan peradapan di Indocina
tampaknya menunjukkan suatu tanggal bagi peristiwa itu : imigrasi itu
terjadi antara 300 dan 200 SM. Dengan sendirinya Melayu Proto dan Melayu
Deutero berbaur dengan bebas, yang menjelaskan kesulitan membedakan
kedua kelompok itu di antara orang Indonesia. Melayu Proto dianggap
mencakup Alas dan Gayo di Sumatera bagian utara dan Toraja di Sulawesi.
Hampir semua orang lain di Indonesia, kecuali orang papua dan
pulau-pulau di sekitarnya, dimasukkan dalam kelas Melayu Deutero.
Seni
budaya, Kabupaten Aceh Tenggara memiliki kekayaan budaya tersendiri
yang berbeda dengan daerah lain di Aceh. Kesenian tradisional yang telah
mendunia adalah Tari Saman yang sering disebut Tari Tangan Seribu. Seni
perang adat alas yang memakai rotan sebagai alat dan tameng, dengan
cara saling memukul terhadap lawan. Biasanya sering dilakukan dalam
upacara untuk menyambut tamu kehormatan. Kesenian yang menggunakan
seruling sebagai medianya. Sering dilantunkan dalam acara adat seperti
jagai, sebagai musik pengiring dalam acara perkawinan namun hal ini
masih sering didengar walaupun sudah jarang orang yang bisa
memainkannya.
Refference:
Batak Alas Song - Maju Negekhi Ku
Batak Alas Song - Pante Goyang
Batak Alas Song - Maju Kutacane
No comments:
Post a Comment