MUNCULNYA SEBUTAN 'ORANG TAPANULI' TERHADAP PERANTAU BATAK DI WILAYAH PESISIR TIMUR
Para pendatang dari Tanah Batak
Utara (Toba) adalah gelombang yang menyusul kemudian. Mereka pada awalnya
berada di daerah pinggiran, dengan mengolah lahan-lahan kosong yang dijadikan
sebagai lahan pertanian. Tanah-tanah kosong ini biasanya adalah tanah rawa yang
tidak dapat ditanami oleh maskapai-maskapai perkebunan. Tanah ini terletak di Simalungun
(Pem. Tanah Jawa), Asahan (Rawang dan Desa Gaja), di Deli Serdang (Bamban,
Percut, Lubuk Pakam, Bedagei) dan di Sei Priok. Sei Priok yang tadinya adalah
rawa-rawa, setelah diolah menjadi lahan subur, kemudian diklaim oleh PTP
sebagai miliknya sehingga sempat perkara di Pangadilan. Ada juga yang bekerja
sebagai kerani kebun, tapi jumlahnya dapat dihitung dengan jari.
Seorang pendatang dari Toba bernama
Kitab Sibarani, yang kemudian setelah memeluk agama Islam, populer dengan nama
“Guru Kitab”. Dengan mendirikan Zending Islam, dia diberi
beberapa bidang tanah oleh Sultan Deli di Jalan Si Singamangaraja sekarang.
Penggunaan istilah zending dalam yayasan yang didirikannya
dimaksudkan untuk mengimbangi Zending Kristen yang perannya
begitu dominan di Tanah Batak Utara. Zending Islam ini
digunakan untuk melakukan siar Islam di Tanah Batak Utara. Gagal dalam
upayanya, peninggalan Gr Kitab berupa beberapa bidang tanah pemberian Sultan,
menjadi rebutan di antara para ahli warisnya.
Para pendatang dari Tanah Batak
Utara, termasuk orang-orang yang unik. Mereka adalah orang-orang yang percaya
diri, sehingga datang dengan utuh, bahkan dengan harpe-nya
sekaligus. Ini berarti bahwa semua ikut terbawa, mulai dari adat-istiadatnya
hingga kebiasaan-kebiasaannya, seperti memelihara anjing dan babi, sesuatu yang
sangat tidak berkenan bagi lingkungannya yang kebanyakan memeluk agama Islam.
Babi-babi peliharaan ini dalam kegelapan malam menyeruduk rumah-rumah penduduk
untuk mencari makanan. Banyak protes yang diajukan, akan tetapi mereka
seolah-olah tidak peduli. Akhirnya, “batak makan babi” menjadi cap
kurang elok yang dikenakan pada mereka.
Cap ini sangat tidak berterima bagi
orang Batak, yang berasal dari Tanah Batak Selatan khususnya Mandailing. Jauh
sebelumnya, mereka juga tidak mau digolongkan kedalam suku Batak. Hal ini
terutama karena dengan kata batak, sering dikonotasikan dengan
bebal, bodoh dan kepala batu. Berdasarakan hal-hal tersebut diatas mereka
berkata bahwa “orang Mandailing bukan orang Batak.” Hal ini menimbulkan
pertentangan dengan orang Batak yang berasal dari Angkola, Sipirok dan Padang
Lawas, yang juga berasal dari Tanah Batak Selatan, yang dengan teguh
mempertahankan identitasnya “kebatakannya”. Orang yang meninggal
misalnya, lebih dahulu dilakukan upacara adat sebelum di makamkan yang hal ini
sangat ditentang oleh orang Mandailing yang lebih mengutamakan penguburan
menurut syariat Islam. Dengan alasan bahwa Mandailing bukan Batak,
orang Mandailing melarang orang-orang dari Angkola, Sipirok dan Padang Lawas
untuk dikuburkan disebuah pemakaman khusus yang mereka beli dari Sultan Deli.
Walau mereka menganut agama yang sama (Islam), orang-orang Mandailing tetap
pada putusannya, melarang mereka dimakamkan disana. Orang-orang Angkola cs
melawan, dengan membuka pintu pagar makam secara paksa. Hal ini dijawab oleh
orang-orang yang berasal dari Mandailing dengan melempari mereka dengan batu.
Karena peristiwa itu sangat memalukan, raja-raja dari Tanah Batak Selatan,
termasuk dari Mandailing membuat suatu Pernyataan Sikap yang terkenal dengan “Batak
Maninggoring.”
Raja-raja yang menandatangani
pernyataan itu antara lain adalah Raja Mangatas dari Pakantan
Lombang, Sutan Soripada Panusunan dari Pakantan Buali, Mangaraja
Panusunan dari Ulu, Sutan Kumala Bulan dari Tariang,
Sutan Singa Soro Baringin dari Monambin, Mangaraja Panobaunan
dari Kota Nopan, Mangaraja Sutan Soleangon dari
Panombangan, Mangaraja Gunung Sorik Marapi dari Naga, Sutan
Pandapotan dari Pidoli Bukit, Mangaraja Solompoon dari
Kota Siantar, Mangaraja Panusunan dari Penyabungan Julu, Mangaraja
Iskandar Panusunan dari Penyabungan Tonga, Sutan Bintang
Pandapotan dari Gunung Baringin dan Patuan Kumala
Bulan sebagai Kepala Kuria Gunung Tua. Semua raja ini
berada dalam lingkungan underafdeeling Groot en Klein Mandailing, Ulu en
Pakantan-Afdeeling Padang Sidimpuan. Pernyataan bersama itu ditandatangani di
atas kertas bermaterai yang dibuat pada tanggal 18 Agustus 1922 dengan isi
sebagai berikut:
“Menerangkan dengan
sesoenggoehnya, bahwa bangsa dari pendoedoek Mandailing itoe ialah bangsa
Batak; sedang agamanja sebagian besar Islam dan sebahagaian ketjil sekali agama
Christen, ia-itoe dalam koeria Pakantan Lombang, Pakantan Boekit dan Kota
Siantar. Nama Mandailing itoe boekanlah nama bangsa akan tetapi nama negeri
(loehak).”
Walau Pemerintah Jajahan menjauhkan
diri dari masalah seperti ini, akan tetapi karena peristiwa yang memalukan
ini, Gubernur Jenderal di Batavia terpaksa turun tangan. Dan berdasarkan
Pernyataan Bersama diatas, Gubernur Jenderal memenangkan orang Angkola cs.
Namun demikian persoalan tidak lantas selesai, karena orang-orang dari
Mandailing masih tetap bertahan dengan pendiriannya. Dalam satu sensus yang
diadakan oleh Pemerintah Jajahan, mereka tetap menolak dimasukkan dalam
kelompok orang Batak.
Solusi kemudian muncul dari
orang-orang yang berasal dari Tapanuli Tengah (Sibolga), yang berbaur dari
berbagai etnis, seperti Minangkabau dan Melayu. Walaupun kebanyakan di
antaranya berasal dari Tanah Batak Utara, banyak diantaranya yang sudah memeluk
agama Islam, yang juga merasa risi disebut orang Batak. Mereka menyebut diri
dalam satu identitas baru yang sekarang kita kenal sebagai “orang tapanuli”.
Jadi, pada awalnya, penyebutan “orang
tapanuli” dimaksudkan sebagai pembeda antara orang Batak yang tidak
memakan babi (Islam) dan mereka yang makan babi yang pada umumnya berasal dari
Tanah Batak Utara. Mereka umumnya menganut agama Kristen Protestan.
Akan tetapi Tapanuli adalah nama
satu wilayah dimana Tapanuli Utara juga termasuk di dalamnya. Karena merasa
berhak, orang-orang yang berasal dari Tapanuli Utara-yang sesedikit ada juga
yang merasa malu menyebut dirinya orang Batak–turut memakainya dan tidak ada
siapapun yang dapat melarangnya. Jadi penyebutan orang Tapanuli, lebih bersifat
kewilayahan, dari pada genealogis (garis keturunan). Pemakaian secara
ramai-ramai ini menyebabkan unsur pembeda antara orang-orang Batak yang memeluk
agama Islam dari Tanah Batak Selatan dan orang-orang yang bukan Islam, yang
berasal dari Tanah Batak Utara lama lama-menjadi hilang.
Para perantau yang berasal dari
wilayah Tanah Batak Utara dan Tanah Karo sebelumnya telah banyak yang
merantau ke wilayah Timur. Karena ada rasa malu menyebut diri sebagai orang Batak,
banyak diantaranya ber adaptasi dengan cara memeluk agama Islam dan mengganti
namanya dengan nama-nama yang bernafas Islam. Hal ini banyak terjadi bagi
pendatang dari Tanah Batak Utara di Asahan dan Labuhan Batu dan pendatang dari
Tanah Karo di Tanah Deli, Langkat dan Serdang. Dalam waktu yang cukup lama
mereka menyembunyikan identitas asli dirinya, hingga sulit membedakan mereka
dengan penduduk setempat (asli).
Jelasnya penyebutan kata tapanuli berkembang
lebih bersifat ke wilayahan. Itu sebabnya mereka yang menyebut diri sebagai
orang tapanuli pada umumnya adalah mereka yang berasal dari wilayah Karesidenan
Tapanuli dalam hal ini mereka yang berasal dari Tapanuli Selatan, Tapanuli
Tengah dan Tapanuli Utara. Mereka merasa lebih nyaman menyebut diri sebagai
orang Tapanuli dari pada orang Batak. Orang Batak yang berasal dari Tanah Karo
dan Simalungun, hampir tidak pernah menggunakannya, karena kedua wilayah ini
termasuk Karesidenan Sumatera Timur, bukan Karesidenan Tapanuli. Begitu pula
orang Pakpak/ Dairi, walaupun pada awalnya masuk karesidenan Tapanuli. Dengan
menyebut diri sebagai orang Tapanuli ada keuntungan yang mereka peroleh. Yang
pertama dan terutama ialah kesan negatif yang muncul dengan menyebut diri
sebagai orang Batak. Kesan negatif ini telah tumbuh sejak William Marsden
menerbitkan suatu buku dengan judul The History of Sumatra. Dalam
bukunya, Marsden menulis tentang suatu suku di pedalaman Sumatera¾orang Batak¾yang
masih kanibal. Marsden menulis tentang Batak berdasarkan catatan Charles Miller
dan Giles Holloway yang pernah berkunjung ke pedalaman Tanah Batak pada tahun
1722.
Di tempat ini, mereka menemukan
tengkorak manusia yang disimpan dalam lumbung padi. Dari penemuan ini¾tanpa
melakukan penyelidikan lebih lanjut¾Marsden mengambil kesimpulan bahwa
tengkorak itu ada, karena dagingnya dimakan. Marsden tidak tahu bahwa, pada
zaman dahulu, orang Batak mempunyai kebiasaan bahwa mayat orang-orang tertentu,
yang biasanya dihormati, disimpan lebih dahulu sebelum tiba waktunya untuk
dikuburkan. Hal inilah yang mendorong Sir Thomas Stamford Raffles, setelah
kepulangannya dari Calcutta, berkunjung ke pedalaman Tanah Batak pada bulan
Februari 1820.
Lain Marsden, lain pula Junghuhn.
Junghuhn, yang juga masuk ke pedalaman Tanah Batak, terheran-heran melihat
seseorang yang memakan racun bahkan sambil tertawa. Inilah awal dari nama
singkong (ubi kayu) dari Tanah Batak¾setelah diteliti¾diberi nama manihot
utelessima, untuk membedakannya dari utelessima yang lain,
yang dikenal sebagai singkong beracun. Cerita tentang orang-orang Batak “makan
orang” tersebar ke seantero dunia, sementara si Marihot yang menawari Junghuhn
untuk makan singkong, walaupun namanya sudah memperkaya ilmu botani, tidak
pernah diketahui bahkan oleh orang-orang Batak sendiri.
Keuntungan lain ialah ialah
dengan menyebut diri sebagai “orang tapanuli”, persatuan diantara dua puak
besar (Mandailing/Angkola dan Toba) menjadi kokoh tanpa ada yang dirugikan.
Karena sering ditonjolkan sebagai identitas diri, sebutan orang Tapanuli
menjadi satu hal yang biasa bahkan hingga kini, tanpa menyadari bahwa sebutan
tersebut adalah salah.
Tapanuli adalah nama satu wilayah
mulai dari Natal dan Air Bangis berbatasan dengan Panti dan Rao dengan Propinsi
Sumatera Barat. Menyusur jalan raya lewat Padang Sidimpuan, sampai ke Sibolga
dan Barus berbatasan dengan Singkil di pantai barat Aceh. Termasuk dalam
Karesidenan ini ialah Tapanuli Utara sampai batas Aek Nauli. Parapat sendiri adalah
batas kota yang berbatasan dengan Karesidenan Sumatera Timur. Inilah wilayah
Tapanuli sebelum adanya pemekaran sesuai dengan tuntutan Otonomi Daerah.
Meskipun Nias termasuk bekas wilayah keresidenan Tapanuli, rasanya jarang ada oramg Nias mengaku “orang Tapanuli”.
ReplyDelete