SUKU BATAK SIMALUNGUN
DI KAB. SIMALUNGUN
By: Wendy Hutahaean
Suku Batak Simalungun, adalah salah satu dari suku Batak yang mendiami wilayah kabupaten Simalungun provinsi Sumatra Utara. Suku Simalungun ini berada di antara dua kebudayaan, yaitu suku Batak Toba dan suku Batak Karo, karena wilayah kediaman suku Batak Simalungun ini berada di antara wilayah kedua suku Batak tersebut tadi. Oleh karena itu bahasa Simalungun berada di antara bahasa Toba dan Karo, bisa dikatakan mirip dengan bahasa Toba, tetapi juga mirip dengan bahasa Karo.
Traditional Clothes of Batak Simalungun |
Traditional Dance of Batak Simalungun |
Suku Simalungun berbicara menggunakan bahasa Simalungun sebagai bahasa sehari-hari. Derasnya pengaruh dari suku-suku di sekitarnya mengakibatkan beberapa bagian bahasa suku Simalungun menyerap bahasa Melayu, Karo, Toba dan sebagainya. Pada masa lalu bahasa Batak Toba pernah digunakan oleh masyarakat suku Batak Simalungun, dikarenakan bahasa Batak Toba sebagai bahasa pengantar oleh penginjil RMG yang menyebarkan agama Kristen pada suku Simalungun ini.
Pada masa lalu suku Simalungun memiliki berbagai kepercayaan yang berhubungan dengan pemakaian mantera-mantera dari "Datu" (dukun) disertai persembahan kepada roh-roh nenek moyang yang selalu didahului panggilan kepada Tiga Dewa yang disebut Naibata, yaitu Naibata di atas (dilambangkan dengan warna Putih),Naibata di tengah (dilambangkan dengan warna Merah), dan Naibata di bawah (dilambangkan dengan warna Hitam). 3 warna yang mewakili Dewa-Dewa tersebut (Putih, Merah dan Hitam) mendominasi berbagai ornamen suku Simalungun dari pakaian sampai hiasan rumahnya.
Orang Simalungun percaya bahwa manusia dikirim ke dunia oleh Naibata dan dilengkapi dengan Sinumbah yang dapat juga menetap di dalam berbagai benda, seperti alat-alat dapur dan sebagainya, sehingga benda-benda tersebut harus disembah. Orang Simalungun menyebut roh orang mati sebagai Simagot. Baik Sinumbah maupun Simagot harus diberikan korban-korban pujaan sehingga mereka akan memperoleh berbagai keuntungan dari kedua sesembahan tersebut.
Ajaran Hindu dan Budha juga pernah mempengaruhi kehidupan di Simalungun, hal ini terbukti dengan peninggalan berbagai patung dan arca yang ditemukan di beberapa tempat di Simalungun yang menggambarkan makna Trimurti (Hindu) dan Sang Buddha yang menunggangi Gajah (Budha). Aksara yang digunakan suku Simalungun disebut aksara Surat Sisapuluhsiah.
Sistem mata pencaharian orang Simalungun yaitu bercocok tanam dengan padi dan jagung. Padi adalah makanan pokok sehari-hari dan jagung adalah makanan tambahan jika hasil padi tidak mencukupi. Pada masa lalu jual-beli diadakan dengan barter.
Kabupaten Simalungun |
WACANA PEMEKARAN SIMALUNGUN
A. Kabupaten Simalungun:
1. Kec. Dolok Panribuan
2. Kec. Dolok Pardamean
3. Kec. Dolok Silau
4. Kec. Girsang Sipangan Bolon
5. Kec. Haranggaol Horison
6. Kec. Jorlang Hataran
7. Kec. Panei
8. Kec. Panombeian Panei
9. Kec. Pematang Sidamanik
10. Kec. Pematang Silima Huta
11. Kec. Purba
12. Kec. Raya
13. Kec. Raya Kahean
14. Kec. Silimakuta
15. Kec. Sidamanik
16. Kec. Silau Kahean
B. Kabupaten Simalungun Hataran:
1. Kec. Tapian Dolok
2. Kec. Hatonduhan
3. Kec. Tanah Jawa
4. Kec. Hutabayu Raja
5. Kec. Jawa Maraja Bah Jambi
6. Kec. Bosar Maligas
7. Kec. Ujung Padang
8. Kec. Bandar Marsilam
9. Kec. Bandar
10. Kec. Pamatang Bandar
11. Kec. Bandar Huluan
12. Kec. Dolok Batunanggar
13. Kec. Gunung Maligas
14. Kec. Gunung Malela
15. Kec. Siantar
WILAYAH BATAK SIMALUNGUN
Wilayah Simalungun Timur:
1. Kec. Dolok Panribuan
2. Kec. Dolok Pardamean
3. Kec. Dolok Silau
4. Kec. Girsang Sipangan Bolon
5. Kec. Haranggaol Horison
6. Kec. Jorlang Hataran
7. Kec. Panei
8. Kec. Panombeian Panei
9. Kec. Pematang Sidamanik
10. Kec. Pematang Silima Huta
11. Kec. Purba
12. Kec. Raya
13. Kec. Raya Kahean
14. Kec. Silimakuta
15. Kec. Sidamanik
16. Kec. Silau Kahean
1. Kec.
2. Kec.
3. Kec.
4. Kec.
5. Kec.
6. Kec.
7. Kec.
8. Kec.
9. Kec.
10. Kec.
1. Kec.
2. Kec.
3. Kec.
4. Kec.
5. Kec.
6. Kec.
7. Kec.
8. Kec.
9. Kec.
10. Kec.
Bahasa Simalungun
merupakan salah satu sub bahasa Batak, dan bahasa ibu yang dituturkan oleh suku
yang mendiami daerah kabupaten Simalungun dan sebagian daerah Kabupaten Deli
Serdang, Serdang Bedagai, dan Asahan. Menurut fakta dan historis, bahasa Simalungun
pada hakekatnya menyebar hampir di seluruh daerah di Sumatera Utara terutama di
wilayah bagian Timur bahkan sampai ke Riau. Pernyataan tersebut didasari oleh
banyaknya bukti-bukti yang mengindikasikan hal tersebut. Bukti yang cukup kuat
antara lain dari banyaknya nama-nama tempat/ daerah yang berbahasakan
Simalungun, seperti nama desa Pamatang Ganjang, Bangun Purba, Parbahuman
(Perbaungan), Tobing Tinggi, Gunung Para, Sipispis, Dolog Marlawan, dan Dolog
Masihol di Deli Serdang dan Serdang Bedagai (Sordang Mandogei); Pamatang
Joring, Parapat Janji, Pamatang Panei, Pagurawan (Pargurouan), Silou Buntu,
Silou Lama, Parhutaan Silou, Sungai Silou, Marjanji Acce (Asih), Pulou Raja,
Bandar Pulou, Pamatang Cengkering, Buntu Panei, dan Bandar Pasir Mandogei di Asahan;
Aek Hanopan, Rantau Parapat, Panei Hilir, Panei Tengah, Panei Hulu, Sungai
Panei di Labuhan Batu; Pematang Peranap dan Bangun Purba di Riau, dan banyak
lagi yang lain. Dari sini dapat disimpulkan bahwa nama-nama tempat/ daerah
tersebut tentulah didirikan oleh orang Simalungun dan sangat kecil kemungkinan
bukan orang Simalungun, karena nama-nama tempat tersebut umum dipakai oleh
orang Simalungun dalam membuat nama-nama kampung. Secara historis, hal ini
diperkuat lagi oleh adanya kerajaan Simalungun yang bernama Nagur yang pada
masa kejayaannya pada abad V hingga abad XV menguasai hampir seluruh daerah di
Sumatera Utara; ke selatan berbatasan dengan danau Toba, ke utara berbatasan
dengan Selat Malaka, kemudian ke arah barat berbatasan dengan daerah Gayo Lues,
dan ke timur berbatasan dengan Kesultanan Siak. Demikian juga Kerajaan Silou
sebagai penerus Nagur yang pusat kerajaan (pamatang) berada di Kecamatan
Dolog Silou, di mana daerah kekuasaannya meliputi sebagian daerah koloni Nagur
tersebut.
Berbicara mengenai
dialek, bahasa Simalungun atau Sahap Simalungun dibagi ke dalam beberapa
dialek, yaitu dialek:
1. Sin Raya,
2. Sin Dolog,
3. Sin Purba,
4. Sin Panei,
5. Sin Bandar dan
6. dialek di daerah jahei-jahei (yang berbatasan dengan daerah Melayu)
Ada lagi dialek-dialek lain yang belum dapat digolongkan. Dialek utama dari sekian dialek itu yang dijadikan sebagai tolok ukur atau standard adalah dialek Sin Raya yang digunakan oleh orang Simalungun yang tinggal di Kecamatan Raya dan Raya Kahean. Mengapa demikian? Karena dialek ini diakui tidak banyak mendapat pengaruh dari bahasa di sekelilingnya, seperti bahasa Toba, Karo dan Melayu. Karena memang masyarakat di daerah ini hingga kini masih sangat mengantisipasi pengaruh masyarakat Toba (Parhuluan) dan Karo tersebut.
Semua dialek yang tersebut di atas pada awalnya adalah sama seperti dialek Raya, namun akibat derasnya pengaruh dari bahasa di sekelilingnya yang berawal dari daerah perbatasan, lambat laun keorisinilan bahasa Simalungun pudar. Seperti halnya dialami oleh orang Simalungun yang bermukim di sepanjang daerah pesisir danau Toba atau daerah Horisan, seperti di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Sidamanik, Pematang Sidamanik, Dolog Pardamean, Haranggaol Horisan, dan Purba; di mana akibat seringnya mengadakan interaksi dengan penutur bahasa Toba, yang datang dari pulau Samosir dan sekitarnya, maka bahasa Simalungun di daerah itu banyak bercampur aduk dengan bahasa mereka (Toba).
Demikian juga mereka yang bermukim di Kecamatan Dolog Panribuan, Jorlang Hataran, Tanoh Jawa, Jawa Maraja Bah Jambi, Huta Bayu Raja, Bosar Maligas, dan Ujung Padang, di mana penutur bahasa Simalungun banyak yang beralih atau salih menjadi penutur bahasa Toba, bahkan lebih dominan Tobanya daripada Simalungunnya, sehingga bukanlah suatu yang mengherankan bila orang Simalungun di daerah ini banyak yang tidak tahu marsahap Simalungun.
1. Sin Raya,
2. Sin Dolog,
3. Sin Purba,
4. Sin Panei,
5. Sin Bandar dan
6. dialek di daerah jahei-jahei (yang berbatasan dengan daerah Melayu)
Ada lagi dialek-dialek lain yang belum dapat digolongkan. Dialek utama dari sekian dialek itu yang dijadikan sebagai tolok ukur atau standard adalah dialek Sin Raya yang digunakan oleh orang Simalungun yang tinggal di Kecamatan Raya dan Raya Kahean. Mengapa demikian? Karena dialek ini diakui tidak banyak mendapat pengaruh dari bahasa di sekelilingnya, seperti bahasa Toba, Karo dan Melayu. Karena memang masyarakat di daerah ini hingga kini masih sangat mengantisipasi pengaruh masyarakat Toba (Parhuluan) dan Karo tersebut.
Semua dialek yang tersebut di atas pada awalnya adalah sama seperti dialek Raya, namun akibat derasnya pengaruh dari bahasa di sekelilingnya yang berawal dari daerah perbatasan, lambat laun keorisinilan bahasa Simalungun pudar. Seperti halnya dialami oleh orang Simalungun yang bermukim di sepanjang daerah pesisir danau Toba atau daerah Horisan, seperti di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Sidamanik, Pematang Sidamanik, Dolog Pardamean, Haranggaol Horisan, dan Purba; di mana akibat seringnya mengadakan interaksi dengan penutur bahasa Toba, yang datang dari pulau Samosir dan sekitarnya, maka bahasa Simalungun di daerah itu banyak bercampur aduk dengan bahasa mereka (Toba).
Demikian juga mereka yang bermukim di Kecamatan Dolog Panribuan, Jorlang Hataran, Tanoh Jawa, Jawa Maraja Bah Jambi, Huta Bayu Raja, Bosar Maligas, dan Ujung Padang, di mana penutur bahasa Simalungun banyak yang beralih atau salih menjadi penutur bahasa Toba, bahkan lebih dominan Tobanya daripada Simalungunnya, sehingga bukanlah suatu yang mengherankan bila orang Simalungun di daerah ini banyak yang tidak tahu marsahap Simalungun.
Di Kotamadya Pematang
Siantar, Kecamatan Siantar, Panei dan Panombeian Panei juga demikian, bahasa
Simalungunnya juga banyak bercampur dengan bahasa Toba, yang jumlah penuturnya
cukup signifikan, namun tidak sampai menghilangkan eksistensi bahasa Simalungun
seperti yang terjadi di daerah kekuasaan marga Sinaga itu. Makanya banyak orang
yang berasumsi kalau Siantar itu lebih identik dengan Tobanya dari pada
Simalungunnya.
Lain halnya dengan orang Simalungun yang tinggal di Kecamatan Dolog Silou dan Silimakuta, di mana mereka kerap berinteraksi dengan orang Karo akibat daerah mereka saling berbatasan, mengakibatkan bahasa Simalungun terkontaminasi bahasa Karo, meskipun tidak sepenuhnya.
Lain lagi dengan orang Simalungun yang berdomisili di daerah Jahei-jahei (Kecamatan Bandar, Pematang Bandar, Bandar Masilam, Bandar Huluan, Gunung Malela, Gunung Maligas, dan Dolog Batu Nanggar), di mana masyarakatnya mayoritas beragama Islam dan sering mengadakan kontak dengan suku Melayu di Deli Serdang dan Asahan, baik di bidang keagamaan maupun perdagangan, secara tak sengaja satu persatu bahasa Melayu pun masuklah ke dalam bahasa Simalungun. Akibat hal ini orang Simalungun yang berasal dari daerah bagian atas (Raya, Purba, Panei, dll) sering menyebut orang Simalungun di daerah tersebut dengan sebutan Jahei-jahei atau Maya-maya, karena dianggap telah memelayukan diri akibat masuk Islam dan tidak lagi mengacuhkan hal-hal yang berhubungan dengan adat-istiadat dan lebih parahnya lagi mereka menganggap orang Simalungun Jahei-jahei sudah tidak mengerti lagi bahasa Simalungun. Namun kenyataannya berbeda, asumsi mereka ternyata keliru, keorisinilan kata dan kehalusan berbicara sesungguhnya tidak banyak berbeda dengan bahasa yang di Raya, dan bahasa Simalungun masih dijadikan sebagai bahasa ibu oleh orang Simalungun kebanyakan. Meski dikatakan dapat pengaruh Melayu, hal itu sangat sedikit sekali dan tidak begitu menonjol, tidak seperti yang dialami oleh penutur bahasa Simalungun lainnya, yang dalam berbicara lebih menonjol Tobanya daripada Simalungunnya atau lebih menonjol Karonya daripada Simalungunnya.
Tapi yang disayangkan di daerah yang banyak berpenduduk Jawa seperti di Kecamatan Bandar Huluan, Siantar Hilir (Gunung Malela, Gunung Maligas, Tapian Dolog), Dolog Batu Nanggar, dan sekitarnya; akibat kerapnya mengadakan komunikasi, bahkan sampai menjalin hubungan persaudaraan dalam bentuk pernikahan dengan suku Jawa tersebut, maka tidak dapat dipungkiri jikalau orang Simalungun di daerah ini malah banyak men-Jawakan diri dan hal itu terjadi pada era belakangan ini di mana jumlah mereka (suku Jawa) semakin signifikan.
Lain halnya dengan orang Simalungun yang tinggal di Kecamatan Dolog Silou dan Silimakuta, di mana mereka kerap berinteraksi dengan orang Karo akibat daerah mereka saling berbatasan, mengakibatkan bahasa Simalungun terkontaminasi bahasa Karo, meskipun tidak sepenuhnya.
Lain lagi dengan orang Simalungun yang berdomisili di daerah Jahei-jahei (Kecamatan Bandar, Pematang Bandar, Bandar Masilam, Bandar Huluan, Gunung Malela, Gunung Maligas, dan Dolog Batu Nanggar), di mana masyarakatnya mayoritas beragama Islam dan sering mengadakan kontak dengan suku Melayu di Deli Serdang dan Asahan, baik di bidang keagamaan maupun perdagangan, secara tak sengaja satu persatu bahasa Melayu pun masuklah ke dalam bahasa Simalungun. Akibat hal ini orang Simalungun yang berasal dari daerah bagian atas (Raya, Purba, Panei, dll) sering menyebut orang Simalungun di daerah tersebut dengan sebutan Jahei-jahei atau Maya-maya, karena dianggap telah memelayukan diri akibat masuk Islam dan tidak lagi mengacuhkan hal-hal yang berhubungan dengan adat-istiadat dan lebih parahnya lagi mereka menganggap orang Simalungun Jahei-jahei sudah tidak mengerti lagi bahasa Simalungun. Namun kenyataannya berbeda, asumsi mereka ternyata keliru, keorisinilan kata dan kehalusan berbicara sesungguhnya tidak banyak berbeda dengan bahasa yang di Raya, dan bahasa Simalungun masih dijadikan sebagai bahasa ibu oleh orang Simalungun kebanyakan. Meski dikatakan dapat pengaruh Melayu, hal itu sangat sedikit sekali dan tidak begitu menonjol, tidak seperti yang dialami oleh penutur bahasa Simalungun lainnya, yang dalam berbicara lebih menonjol Tobanya daripada Simalungunnya atau lebih menonjol Karonya daripada Simalungunnya.
Tapi yang disayangkan di daerah yang banyak berpenduduk Jawa seperti di Kecamatan Bandar Huluan, Siantar Hilir (Gunung Malela, Gunung Maligas, Tapian Dolog), Dolog Batu Nanggar, dan sekitarnya; akibat kerapnya mengadakan komunikasi, bahkan sampai menjalin hubungan persaudaraan dalam bentuk pernikahan dengan suku Jawa tersebut, maka tidak dapat dipungkiri jikalau orang Simalungun di daerah ini malah banyak men-Jawakan diri dan hal itu terjadi pada era belakangan ini di mana jumlah mereka (suku Jawa) semakin signifikan.
Dalam bahasa
Simalungun terdapat sejumlah fonem yang jarang ditemukan pada bahasa batak yang
lain. Fonem-fonem itu ada yang berbentuk konsonan dan ada pula berbentuk
diftong. Fonem-fonem itu adalah /ou/, /ei/, dan /ui/; /h/, /d/, /g/, dan /b/,
dan semuanya terletak pada akhir kata. Di samping bahasa Simalungun, fonem
/ou/, /ei/, dan /ui/ ini juga banyak dijumpai pada bahasa-bahasa rumpun Melayu,
Karo, Alas di Aceh Tenggara, dan Keluet di Aceh Selatan. Fonem /ou/, /ei/, dan
/ui/ ini dalam bahasa Simalungun disebut dengan anak ni surat atau
diakritik, hanya Simalungunlah yang mengenal diakritik khusus untuk fonem-fonem
ini, yang masing-masing bernama hatulungan, hatalingan,
dan hatuluyan.
Fonem berdiftong /ou/ juga terdapat pada aksara Karo, tetapi tidak pada aksara-aksara Batak lainnya. Namun di Karo, tidak terdapat diakritik khusus untuk fonem /ou/, dan penggunaannya hanya terbatas pada bahasa Karo yang berdialek Jahe-jahe yang bermukim di Deli Serdang dan Langkat, tidak meluas hingga ke dialek Karo yang lain yang memang bermukim di pusat daerah Karo, seperti dialek Kabanjahe dan Gunung.
Bahasa Alas dan Keluet yang sudah tidak memiliki aksara asli seperti di tanah Batak dan telah digantikan dengan aksara Jawi atau Arab Melayu, sehingga sulit menjelaskan keberadaan fonem-fonem berdiftong tersebut. Kendati demikian, bahasa Alas dan Keluet sebenarnya adalah wujud dari kombinasi bahasa Pakpak, Karo, Simalungun, Aceh, dan Melayu. Jadi bila ditelusuri bentuk dari aksara aslinya yang kini telah punah kemungkinan tidak jauh berbeda dengan aksara Karo dan Simalungun.
Fonem berdiftong /ou/ juga terdapat pada aksara Karo, tetapi tidak pada aksara-aksara Batak lainnya. Namun di Karo, tidak terdapat diakritik khusus untuk fonem /ou/, dan penggunaannya hanya terbatas pada bahasa Karo yang berdialek Jahe-jahe yang bermukim di Deli Serdang dan Langkat, tidak meluas hingga ke dialek Karo yang lain yang memang bermukim di pusat daerah Karo, seperti dialek Kabanjahe dan Gunung.
Bahasa Alas dan Keluet yang sudah tidak memiliki aksara asli seperti di tanah Batak dan telah digantikan dengan aksara Jawi atau Arab Melayu, sehingga sulit menjelaskan keberadaan fonem-fonem berdiftong tersebut. Kendati demikian, bahasa Alas dan Keluet sebenarnya adalah wujud dari kombinasi bahasa Pakpak, Karo, Simalungun, Aceh, dan Melayu. Jadi bila ditelusuri bentuk dari aksara aslinya yang kini telah punah kemungkinan tidak jauh berbeda dengan aksara Karo dan Simalungun.
Sumber:
Batak Simalungun Song - Huta Haranggaol
Simalungun, batak kah? penyebutan batak itu ditelusuri adalah sebutan untuk orang2 pegunungan oleh melayu, baca kembali teks2 kronik melayu pesisir timur, penyebutan batak itu dialamatkan ke batak timur dan batak karo . . . . jadi banyak orang bertanya sejak kapan kah sebutan batak itu? ya sejak ada interaksi antara orang pegunungan (bukan islam) dengan orang melayu pesisir timur. . . . . Brayan Munthe opini
ReplyDeleteBang Anonymous. Terimakasih sudah membaca artikel penelitian saya. Anggapan Simalungun itu Batak atau tidak itu tergantung anggapan anda bang. Menurut para antropolog budaya, Simalungun termasuk Batak, yaitu suku-suku yang tinggal di sekitar pegunungan Bukit Barisan yang bukan Melayu. Kalau saya memandangnya dari kacamata antropolog budaya. Terimakasih abang.
DeleteBersama Kami Agen Tembak Ikan Online Terbesar & Terpercaya!
ReplyDeleteDapatkan Bonus Cashback 5% - 10% / Bonus New Member 10%
Hanya Minimal Deposit IDR 50.000,- Menangkan Jackpot Jutaan Rupiah..
Yuk Gabung Bersama Bolavita Di Website www. bolavita .site
Untuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
BBM: BOLAVITA
WeChat: BOLAVITA
WA: +628122222995
Line : cs_bolavita