Pages

Saturday, 6 April 2013

Batak Alas People (English Version)

BATAK ALAS PEOPLE

by: Wendy Hutahaean


Batak Alas People or sometimes called Alas People is a Batak ethnic that live in Kabupaten Aceh Tenggara. The name "Alas" means pedestal related to the geographical of Batak Alas Land that streched flat like a mat on the sidelines of Bukit Barisan Mountain. Besides that, the land has some rivers which one of them named Alas River. Total population of Batak Alas people is 60,000 people and 51,240 of its people live in Kabupaten Aceh Tenggara.

Traditional Clothes of Batak Alas

A. The Land

The land of Batak Alas covered some districts of Kabupaten Aceh Tenggara, which are:


1.   Kec. Lawe Alas, capital in Ngkeran
2.   Kec. Babul Rahmah, capital in Lawe Sumur
3.   Kec. Tanoh Alas, capital in Tenembak Alas
4.   Kec. Lawe Sigala-gala, capital in Lawe Sigala
5.   Kec. Babul Makmur, capital in Sejahtera
6.   Kec. Semadam, capital in Simpang Semadam
7.   Kec. Leuser, capital in Kene Mende
8.   Kec. Bambel, capital in Kuta Langlang
9.   Kec. Bukit Tusam, capital in Lawe Dua
10. Kec. Lawe Sumur, capital in Lawe Perlak
11. Kec. Babussalam, capital in Kutacane
12. Kec. Lawe Bulan, capital in Simpang Empat
13. Kec. Badar, capital in Purwodadi 
14. Kec. Darul Hasanah, capital in Mamas
15. Kec. Ketambe, capital in Lawe Beringin
16. Kec. Delleng Pokhisen, capital in Beriring Naru

Kabupaten Aceh Tenggara

B.   Marga

Batak Alas people have "marga" that shows the identity of their original ancestor or family. This familiy name is derived from  father lineage (patrilineal) that will be continued to his male descent continiously. Female descent will follow the family name of her husband after mariage. The example of "marga" in Batak Alas that live in Kabupaten Aceh Tenggara are:


1.    Marga Bangko,
2.    Marga Deski,
3.    Marga Keling,
4.    Marga Kepale Dese,
5.    Marga Keruas,
6.    Marga Pagan,
7.    Marga Selian

Traditional Houseof Batak Alas
Besides that, the acculturation between Batak Alas people and other Batak people creates some marga, such as:


1.    Marga Acih,
2.    Marga Beruh,
3.    Marga Gale,
4.    Marga Kekaro,
5.    Marga Mahe,
6.    Marga Menalu,
7.    Marga Mencawan,
8.    Marga Munthe,
9.    Marga Pase,
10. Marga Pelis,
11. Marga Pinim,
12. Marga Ramin,
13. Marga Ramud,
14. Marga Sambo,
15. Marga Sekedang,
16. Marga Sugihen,
17. Marga Sepayung,
18. Marga Sebayang,
19. Marga Terigan.

C. Language

Bahasa Alas, adalah merupakan bahasa masyarakat di Tanah Alas (Aceh Tenggara). Bahasa ini bertalian erat dengan Bahasa Kluet (Aceh Selatan), Bahasa Singkil-Julu (Aceh Singkil), Bahasa Batak Pakpak dan Bahasa Batak Karo di Sumatera Utara. Bahasa Alas memiliki tiga dialek, yaitu dialek Hulu dipakai di kecamatan Badar, dialek Hilir dipakai di kecamatan Bambel dan dialek Tengah dipakai di kecamatan Babussalam dan Lawe Alas. Perbedaan dari ketiga dialeg ini hanya sedikit sekali, yaitu: bila ditinjau dari segi intonasi pemakaian bahasa Alas di kecamatan Badar lebih halus, sedang di daerah kecamatan Babussalam, Lawe sigala-gala dalam kategori sedang. Sedangkan di kecamatan Bambel kasar. Selain itu, dalam bahasa Alas juga, ditemukan tingkat bahasa, meskipun hanya ditemukan pada beberapa kata.

Traditional Dance of Batak Alas

Bahasa Alas, selengkapnya bahasa Batak Alas-Kluet untuk para linguist, dimasukkan dalam kelompok bahasa Batak, walau dari segi budaya dan jati diri orang Alas tidak melihat dirinya sebagai orang Batak.

D. Religion

Suku Alas 100% adalah penganut agama Islam. Namun masih ada juga yang mempercayai praktik perdukunan misalnya dalam kegiatan pertanian. Mereka melakukan upacara-upacara dengan latar belakang kepercayaan tertentu agar pertanian mereka mendatangkan hasil baik atau terhindar dari hama.

Sebagian besar suku Alas tinggal di pedesaan dan hidup dari pertanian dan peternakan. Tanah Alas merupakan lumbung padi untuk daerah Aceh. Tapi selain itu mereka juga berkebun karet, kopi,dan kemiri, serta mencari berbagai hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar dan kemenyan. Sedangkan binatang yang mereka ternakkan adalah kuda, kambing, kerbau, dan sapi.


Kampung atau desa orang Alas disebut kute. Suatu kute biasanya didiami oleh satu atau beberapa klan, yang disebut merge. Anggota satu merge berasal dari satu nenek moyang yang sama. Pola hidup kekeluargaan mereka adalah kebersamaan dan persatuan. Mereka menarik garis keturunan patrilineal, artinya garis keturunan laki-laki. Mereka juga menganut adat eksogami merge, artinya jodoh harus dicari di merge lain.

E. History

Ukhang Alas atau khang Alas atau Kalak Alas telah bermukim di lembah Alas, jauh sebelum Pemerintah Kolonial Belanda masuk ke Indonesia dimana keadaan penduduk lembah Alas telah diabadikan dalam sebuah buku yang dikarang oleh seorang bangsa Belanda bernama Radermacher (1781:8), bila dilihat dari catatan sejarah masuknya Islam ke Tanah Alas, pada tahun 1325 (Effendy, 1960:26) maka jelas penduduk ini sudah ada walaupun masih bersifat nomaden dengan menganut kepercayaan animisme. Nama Alas diperuntukan bagi seorang atau kelompok etnis, sedangkan daerah Alas disebut dengan kata Tanoh Alas. Menurut Kreemer (1922:64) kata "Alas" berasal dari nama seorang kepala etnis (cucu dari Raja Lambing), beliau bermukim di desa paling tua di Tanoh Alas yaitu Desa Batu Mbulan.

Menurut Iwabuchi (1994:10) Raja yang pertama kali bermukim di Tanoh Alas adalah terdapat di Desa Batumbulan yang dikenal dengan nama RAJA LAMBING yaitu keturunan dari RAJA LOTUNG atau dikenal dengan cucu dari GURU TATAE BULAN dari Samosir Tanah Batak, Tatae Bulan adalah saudara kandung dari RAJA SUMBA. Guru Tatae Bulan mempunyai lima orang anak, yaitu Raja Uti, Saribu Raja, Limbong, Sagala, dan Silau Raja. Saribu Raja adalah merupakan orang tuanya Raja Borbor dan Raja Lontung. Raja Lontung mempuyai tujuh orang anak yaitu, Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar atau yang dikenal dengan siampudan atau payampulan. Pandiangan merupakan moyangnya Pande, Suhut Nihuta, Gultom, Samosir, Harianja, Pakpahan, Sitinjak, Solin di Dairi, Sebayang di Tanah Karo, dan SELIAN di Tanah Alas, Keluet di Aceh Selatan.

Raja Lambing adalah moyang dari merga Sebayang di Tanah Karo dan Selian di Tanah Alas. Raja Lambing merupakan anak yang paling bungsu dari tiga bersaudara yaitu abangnya tertua adalah Raja Patuha di Dairi, dan nomor dua adalah Raja Enggang yang hijrah ke Kluet Aceh Selatan, keturunan dan pengikutnya adalah merga Pinem atau Pinim. Kemudian Raja Lambing hijrah ke Tanah Karo dimana keturunan dan pengikutnya adalah merga Sebayang dengan wilayah dari Tigabinanga hingga ke perbesi dan Gugung Kabupaten Karo.

Diperkirakan pada abad ke 12 Raja Lambing hijrah dari Tanah Karo ke Tanah Alas, dan bermukim di Desa Batumbulan, keturunan dan pengikutnya adalah merga Selian. Di Tanah Alas Raja Lambing mempunyai tiga orang anak yaitu Raja Lelo (Raje Lele) keturunan dan pengikutnya ada di Ngkeran, kemudian Raja Adeh yang merupakan moyangnya dan pengikutnya orang Kertan, dan yang ketiga adalah Raje Kaye yang keturunannya bermukim di Batumbulan, termasuk Bathin. Keturuan Raje Lambing di Tanah Alas hingga tahun 2000, telah mempuyai keturunan ke 26 yang bermukim tersebar diwilayah Tanah Alas (Effendy, 1960:36; sebayang 1986:17).

Setelah Raja Lambing kemudian menyusul Raja Dewa yang istrinya merupakan putri dari Raja Lambing. Raja Lambing menyerahkan tampuk kepemimpinan Raja kepada Raja Dewa (menantunya). Yang dikenal dengan nama Malik Ibrahim, yaitu pembawa ajaran Islam yang termashur ke Tanah Alas. Bukti situs sejarah ini masih terdapat di Muara Lawe Sikap, desa Batumbulan. Malik Ibrahim mempunyai satu orang putera yang diberinama ALAS dan hingga tahun 2000 telah mempunyai keturunan ke 27 yang bermukim di wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, Banda Aceh, Medan, Malaysia dan tempat lainnya.

Ada hal yang menarik perhatian kesepakatan antara putera Raja Lambing (Raja Adeh, Raja Kaye dan Raje Lele) dengan putra Raja Dewa (Raja Alas) bahwa syi’ar Islam yang dibawa oleh Raja Dewa diterima oleh seluruh kalangan masyarakat Alas, tetapi adat istiadat yang dipunyai oleh Raja Lambing tetap di pakai bersama. Ringkasnya, hidup dikandung adat mati dikandung hukum (Islam) oleh sebab itu jelas bahwa asimilasi antara adat istiadat dengan kebudayaan suku Alas telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu.

Pada awal kedatanganya Malik Ibrahim migrasi melalui pesisir bagian timur (Pasai) sebelum ada kesepakatan diatas, ia masih memegang budaya matrealistik dari minang kabau, sehingga puteranya Raja Alas sebagai pewaris kerajaan mengikuti garis keturunan dan merga pihak ibu yaitu Selian. Setelah Raja Alas menerima asimilasi dari Raja Lambing dengan ajaran Islam, maka sejak itulah mulai menetap keturunannya menetap garis keturunannya mengikuti garis Ayah. Raja Alas juga dikenal sebagai pewaris kerajaan, karena banyaknya harta warisan yang diwariskan oleh ayah dan kakeknya sejak itulah dikenal dengan sebutan Tanoh Alas. Setelah kehadiran Selian di Batumbulan, muncul lagi kerajaan lain yang di kenal dengan Sekedang yang basis wilayahnya meliputi Bambel hingga ke Lawe Sumur. Raja sekedang menurut beberapa informasi pada awal kehadiranya di Tanah Alas adalah untuk mencari orang tuanya yaitu RAJA DEWA yang migran ke Tanah Alas. Raja Sekedang yang merupakan pertama sekali datang ke Tanah Alas diperkirakan ada pertengahan abad ke 13 yang lalu yaitu bernama NAZARUDIN yang dikenal dengan panggilan DATUK RAMBUT yang datang dari Pasai.

Pendatang berikutnya semasa Raja Alas yaitu kelompok Megit Ali dari Aceh pesisir dan keturunannya berkembang di Biak Muli yang dikenal dengan merga Beruh. Lalu terjadi migran berikutnya yang membentuk beberapa marga, namun mereka tetap merupakan pemekaran dari Batumbulan, penduduk Batumbulan mempuyai beberapa kelompok atau merga yang meliputi Pale Dese yang bermukim di bagian barat laut Batumbulan yaitu terutung pedi, lalu hadir kelompok Selian, datang kelompok Sinaga, Keruas dan Pagan disamping itu bergabung lagi marga Munthe, Pinim dan Karo-Karo. Marga Pale Dese merupakan penduduk yang pertama sekali menduduki Tanah Alas, namun tidak punya kerajaan yang tercatat dalam sejarah. Kemudian hadir pula Deski yang bermukim di kampong ujung barat.

Menurut Bernard H.M Vlekke "Nusantara : A History of Indonesia" Diterjemahkan oleh : Samsudin Berlin (Nusantara: Sejarah Indonesia) Dicetak oleh : PT Gramedia, Jakarta, Cet 4, 2008. Kepulauan Indonesia terletak di jalur laut utama antara Asia bagian timur dan selatan. Dalam wilayah antara seperti ini, dengan sendirinya bias diperkirakan akan terdapat populasi dengan beragam asal-usul. Penemuan antropologis menambahkan banyak kerumitan pada studi mengenai masalah asal-usul manusia dalam gugusan pulau itu. Pada 1890 Dr. Eugene Dubolis menemukan sisa-sisa sebuah kerangka yang tampaknya saat itu tidak dapat diklasifikasikan sebagai kera atau manusia. Diskusi-diskusi ilmiah mengenai sisa-sisa "Pithecanthopus erectus" (nama yang disarankan Dubois) menghasilkan kesimpulan yang tidak pasti. Untuk waktu lama, hanya sedikit penemuan baru yang bias menjelaskan masalah sulit ini. Tapi 40 tahun kemudian, gambaran ini tiba-tiba berubah. Antara 1931 dan 1941, antropolog Oppenoorth dan Von Koenigswald menemukan fosil sisa-sisa beberapa jenis manusia purba yang berasal dari Kala Pleistosen awal atau pertengahan. Semua penemuan ini terjadi di sekitar Surakarta di Jawa Tenggah. Penemuan itu ternyata sangat penting bagi antropologi dan biologi pada umumnya. Tapi tidak berarti bagi sejarah Indonesia. Orang-orang Indonesia zaman purba adalah keturunan imigran dari benua Asia. Antara zaman Pithecanthpopus dan tibanya para imigran mungkin ada sepanjang waktu ribuan abad.

Ada beberapa teori mengenai perkembangan etnologis Indonesia. Keadaan linguistik dan etnisnya sangat kompleks. Beberapa ratusan bahasa ditutut di kepulauan Indonesia, dan sering kali beberapa bahasa dipakai di satu pulau kecil. Penduduk satu wilayah kecil bisa terdiri atas fenotipe yang sangat berbeda. Tidak ada satu pulau, betapun kecilnya, yang penduduknya tidak campur-baur, dan di semua pulau besar (kecuali jawa) kita temukan suku-suku bangsa primitive hidup berdampingan dengan orang-orang dengan derajat peradapan tinggi. Salah satu aspek paling mencolok dari masalah ini ialah bahwa di setiap pulau besar ada perbedaan besar antara penduduk wilayah pantai dan pedalaman. P. dan F. Sarasin bersaudara, penjelajah terkenal pedalaman Sulawesi, adalah ilmuan-ilmuan pertama yang merumuskan suatu teori yang masuk akal tentang peradapan antara suku-suku bangsa pedalaman dengan penduduk pantai ini. Teori ini kemudian dikembangkan lagi oleh antropologi-antropologi lain. Teori Sarasin bersaudara ini adalah bahwa populasi asli kepulauan Indonesia adalah orang dengan fenotipe bkulit gelap dan tubuh kecil, dan bahwa kelompok ini awalnya mendiami seluruh Asia bagian tenggara. Pada waktu itu wilayah itu adalah satu daratan yang solid. Tentu saja, es dari periode glasia tidak pernah menutupi pulau-pulau Hindia Timur itu, tapi pada penghujung periode glacial yang terakhir level laut naik begitu tinggi sehingga laut cina Selatan dan Laut Jawa terbentuk dan memisahkan wilayah pegunungan vulkanik Indonesia dari daratan utama. Sia-sia penduduk asli yang terpisah-pisah dianggap masih tinggal di daerah-daerah pedalaman, sementara daerah-daerah pantai yang baru terbentuk dihuni oleh pendatang-pendatang baru. Sarasin bersaudara menyebut keturunan orang asli itu orang Vedda, menurut nama salah satu kelompok paling terkenal yang masuk dalam kelompok ini, orang Hieng di Kamboja, Miao-tse dan Yao-jen di Cina, serta Senoi di semenanjung Malaya. Di kepulauan Indonesia terdapat orang yang tinggal di hutan Sumatera (Kubu, Lubu, dan Mamak) serta Toala di Sulawesi. Riset di kemudian hari memungkinkan penguraian lebih jauh terhadap benang ruwet yang membentuk pola antropologis Indonesia. Kumpulan bukti antropologis dan arkeologis tampaknya menunjukkan bahwa populasi tertua kepulauan Indonesia berhubungan erat dengan nenek moyang Melanesia masa kini dan bahwa “orang Vedda” yang disebutkan Sarasin tersebut termasuk apa yang saat itu dinamakan "ras Negrito" yang walaupun jarang, masih terdapat di seluruh Afrika, Asia Selatan, dan Oceania. Jadi Vedda adalah “imigrasi” pertama yang masuk ke dunia pulau yang sudah berpenghuni dan masih dapat dibedakan dari pendahulu mereka berkat model perkakas batu yang mereka tinggalkan. Kedua populasi itu dikatakan hidup di tahap Mesolitik.

Lama setelah tibanya orang Negrito, datang populasi baru ke Indonesia. Budaya mereka tipe Neolitik dan permukiman awal mereka yang menyerupai gerabah Cina kuno. Hari ini pun orang dari kelompok awal ini pemalu dan jarang terlihat, kecuali didatangi ditempat mereka di pedalaman yang masih liar. Mereka tidak punya pilihan lain kecuali melebur atau musnah.

Sarasin bersaudara menyebut pendatang baru itu terdiri dari dua gelombang, Melayu Proto dan Melayu Deutero. Karena kedatangan mereka dalam dua gelombang migrasi, terpisah dalam waktu tenggang yang menurut perkiraan lebih dari 2.000 tahun. Melayu Proto diyakini adalah nenek monyang mungkin dari semua orang yang kini dianggap masuk kelompok Melayu Polinesia yang tersebar dari Madagaskar sampai pulau-pulau paling timur di pasifik, mereka diperkirakan bermigrasi ke Kepulauan Indonesia dari Cina bagian selatan. Di Cina ditempat tinggal asli mereka diperkirakan berada di wilayah yang secara kasar termasuk dalam provinsi Yunnan sekarang. Dari situ mereka bermigrasi ke Indonesia dan Siam dan kemudian ke Kepulauan Indonesia. Kedatangan mereka tampaknya bersamaan dengan munculnya perkakas neolitik pertama di Indonesia dan dengan demikian dapat di tentukan pada sekitar 3.000 SM. Menurut teori Sarasin, keturunan Melayu Proto pada gilirannya terdesak ke pedalaman oleh datangnya imigran baru, Melayu Deutero, yang juga berasal dari Indocina bagian utara dan wilayah sekitarnya. Melayu Deutero diidentifikasikan dengan orang yang memperkenalkan perkakas dan senjata besi kedunia kepulauan Indonesia. Studi mengenai perkembangan peradapan di Indocina tampaknya menunjukkan suatu tanggal bagi peristiwa itu : imigrasi itu terjadi antara 300 dan 200 SM. Dengan sendirinya Melayu Proto dan Melayu Deutero berbaur dengan bebas, yang menjelaskan kesulitan membedakan kedua kelompok itu di antara orang Indonesia. Melayu Proto dianggap mencakup Alas dan Gayo di Sumatera bagian utara dan Toraja di Sulawesi. Hampir semua orang lain di Indonesia, kecuali orang papua dan pulau-pulau di sekitarnya, dimasukkan dalam kelas Melayu Deutero.
Seni budaya, Kabupaten Aceh Tenggara memiliki kekayaan budaya tersendiri yang berbeda dengan daerah lain di Aceh. Kesenian tradisional yang telah mendunia adalah Tari Saman yang sering disebut Tari Tangan Seribu. Seni perang adat alas yang memakai rotan sebagai alat dan tameng, dengan cara saling memukul terhadap lawan. Biasanya sering dilakukan dalam upacara untuk menyambut tamu kehormatan. Kesenian yang menggunakan seruling sebagai medianya. Sering dilantunkan dalam acara adat seperti jagai, sebagai musik pengiring dalam acara perkawinan namun hal ini masih sering didengar walaupun sudah jarang orang yang bisa memainkannya.



Refference:





Batak Alas Song - Maju Negekhi Ku


Batak Alas Song - Pante Goyang


Batak Alas Song - Maju Kutacane

No comments:

Post a Comment