Pages

Friday, 25 January 2013

Munculnya Sebutan 'Orang Tapanuli' Terhadap Perantau Batak di Wilayah Pesisir Timur


MUNCULNYA SEBUTAN 'ORANG TAPANULI' TERHADAP PERANTAU BATAK DI WILAYAH PESISIR TIMUR


Para pendatang dari Tanah Batak Utara (Toba) adalah gelombang yang menyusul kemudian. Mereka pada awalnya berada di daerah pinggiran, dengan mengolah lahan-lahan kosong yang dijadikan sebagai lahan pertanian. Tanah-tanah kosong ini biasanya adalah tanah rawa yang tidak dapat ditanami oleh maskapai-maskapai perkebunan. Tanah ini terletak di Simalungun (Pem. Tanah Jawa), Asahan (Rawang dan Desa Gaja), di Deli Serdang (Bamban, Percut, Lubuk Pakam, Bedagei) dan di Sei Priok. Sei Priok yang tadinya adalah rawa-rawa, setelah diolah menjadi lahan subur, kemudian diklaim oleh PTP sebagai miliknya sehingga sempat perkara di Pangadilan. Ada juga yang bekerja sebagai kerani kebun, tapi jumlahnya dapat dihitung dengan jari.


Seorang pendatang dari Toba bernama Kitab Sibarani, yang kemudian setelah memeluk agama Islam, populer dengan nama “Guru Kitab”. Dengan mendirikan Zending Islam, dia diberi beberapa bidang tanah oleh Sultan Deli di Jalan Si Singamangaraja sekarang. Penggunaan istilah zending dalam yayasan yang didirikannya dimaksudkan untuk mengimbangi Zending Kristen yang perannya begitu dominan di Tanah Batak Utara. Zending Islam ini digunakan untuk melakukan siar Islam di Tanah Batak Utara. Gagal dalam upayanya, peninggalan Gr Kitab berupa beberapa bidang tanah pemberian Sultan, menjadi rebutan di antara para ahli warisnya.


Para pendatang dari Tanah Batak Utara, termasuk orang-orang yang unik. Mereka adalah orang-orang yang percaya diri, sehingga datang dengan utuh, bahkan dengan harpe-nya sekaligus. Ini berarti bahwa semua ikut terbawa, mulai dari adat-istiadatnya hingga kebiasaan-kebiasaannya, seperti memelihara anjing dan babi, sesuatu yang sangat tidak berkenan bagi lingkungannya yang kebanyakan memeluk agama Islam. Babi-babi peliharaan ini dalam kegelapan malam menyeruduk rumah-rumah penduduk untuk mencari makanan. Banyak protes yang diajukan, akan tetapi mereka seolah-olah tidak peduli. Akhirnya, “batak makan babi” menjadi cap kurang elok yang dikenakan pada mereka.


Cap ini sangat tidak berterima bagi orang Batak, yang berasal dari Tanah Batak Selatan khususnya Mandailing. Jauh sebelumnya, mereka juga tidak mau digolongkan kedalam suku Batak. Hal ini terutama karena dengan kata batak, sering dikonotasikan dengan bebal, bodoh dan kepala batu. Berdasarakan hal-hal tersebut diatas mereka berkata bahwa “orang Mandailing bukan orang Batak.” Hal ini menimbulkan pertentangan dengan orang Batak yang berasal dari Angkola, Sipirok dan Padang Lawas, yang juga berasal dari Tanah Batak Selatan, yang dengan teguh mempertahankan identitasnya “kebatakannya”. Orang yang meninggal misalnya, lebih dahulu dilakukan upacara adat sebelum di makamkan yang hal ini sangat ditentang oleh orang Mandailing yang lebih mengutamakan penguburan menurut syariat Islam. Dengan alasan bahwa Mandailing bukan Batak, orang Mandailing melarang orang-orang dari Angkola, Sipirok dan Padang Lawas untuk dikuburkan disebuah pemakaman khusus yang mereka beli dari Sultan Deli. Walau mereka menganut agama yang sama (Islam), orang-orang Mandailing tetap pada putusannya, melarang mereka dimakamkan disana. Orang-orang Angkola cs melawan, dengan membuka pintu pagar makam secara paksa. Hal ini dijawab oleh orang-orang yang berasal dari Mandailing dengan melempari mereka dengan batu. Karena peristiwa itu sangat memalukan, raja-raja dari Tanah Batak Selatan, termasuk dari Mandailing membuat suatu Pernyataan Sikap yang terkenal dengan “Batak Maninggoring.”


Raja-raja yang menandatangani pernyataan itu antara lain adalah Raja Mangatas dari Pakantan Lombang, Sutan Soripada Panusunan dari Pakantan Buali, Mangaraja Panusunan dari Ulu, Sutan Kumala Bulan dari Tariang, Sutan Singa Soro Baringin dari Monambin, Mangaraja Panobaunan dari Kota Nopan, Mangaraja Sutan Soleangon dari Panombangan, Mangaraja Gunung Sorik Marapi dari Naga, Sutan Pandapotan dari Pidoli Bukit, Mangaraja Solompoon dari Kota Siantar, Mangaraja Panusunan dari Penyabungan Julu, Mangaraja Iskandar Panusunan dari Penyabungan Tonga, Sutan Bintang Pandapotan dari Gunung Baringin dan Patuan Kumala Bulan sebagai Kepala Kuria Gunung TuaSemua raja ini berada dalam lingkungan underafdeeling Groot en Klein Mandailing, Ulu en Pakantan-Afdeeling Padang Sidimpuan. Pernyataan bersama itu ditandatangani di atas kertas bermaterai yang dibuat pada tanggal 18 Agustus 1922 dengan isi sebagai berikut:


Menerangkan dengan sesoenggoehnya, bahwa bangsa dari pendoedoek Mandailing itoe ialah bangsa Batak; sedang agamanja sebagian besar Islam dan sebahagaian ketjil sekali agama Christen, ia-itoe dalam koeria Pakantan Lombang, Pakantan Boekit dan Kota Siantar. Nama Mandailing itoe boekanlah nama bangsa akan tetapi nama negeri (loehak).

Walau Pemerintah Jajahan menjauhkan diri dari masalah seperti ini, akan tetapi karena peristiwa yang memalukan ini, Gubernur Jenderal di Batavia terpaksa turun tangan. Dan berdasarkan Pernyataan Bersama diatas, Gubernur Jenderal memenangkan orang Angkola cs. Namun demikian persoalan tidak lantas selesai, karena orang-orang dari Mandailing masih tetap bertahan dengan pendiriannya. Dalam satu sensus yang diadakan oleh Pemerintah Jajahan, mereka tetap menolak dimasukkan dalam kelompok orang Batak.

Solusi kemudian muncul dari orang-orang yang berasal dari Tapanuli Tengah (Sibolga), yang berbaur dari berbagai etnis, seperti Minangkabau dan Melayu. Walaupun kebanyakan di antaranya berasal dari Tanah Batak Utara, banyak diantaranya yang sudah memeluk agama Islam, yang juga merasa risi disebut orang Batak. Mereka menyebut diri dalam satu identitas baru yang sekarang kita kenal sebagai “orang tapanuli”.

Jadi, pada awalnya, penyebutan “orang tapanuli” dimaksudkan sebagai pembeda antara orang Batak yang tidak memakan babi (Islam) dan mereka yang makan babi yang pada umumnya berasal dari Tanah Batak Utara. Mereka umumnya menganut agama Kristen Protestan.

Akan tetapi Tapanuli adalah nama satu wilayah dimana Tapanuli Utara juga termasuk di dalamnya. Karena merasa berhak, orang-orang yang berasal dari Tapanuli Utara-yang sesedikit ada juga yang merasa malu menyebut dirinya orang Batak–turut memakainya dan tidak ada siapapun yang dapat melarangnya. Jadi penyebutan orang Tapanuli, lebih bersifat kewilayahan, dari pada genealogis (garis keturunan). Pemakaian secara ramai-ramai ini menyebabkan unsur pembeda antara orang-orang Batak yang memeluk agama Islam dari Tanah Batak Selatan dan orang-orang yang bukan Islam, yang berasal dari Tanah Batak Utara lama lama-menjadi hilang.

Para perantau yang berasal dari wilayah Tanah Batak Utara dan Tanah Karo sebelumnya telah banyak yang merantau ke wilayah Timur. Karena ada rasa malu menyebut diri sebagai orang Batak, banyak diantaranya ber adaptasi dengan cara memeluk agama Islam dan mengganti namanya dengan nama-nama yang bernafas Islam. Hal ini banyak terjadi bagi pendatang dari Tanah Batak Utara di Asahan dan Labuhan Batu dan pendatang dari Tanah Karo di Tanah Deli, Langkat dan Serdang. Dalam waktu yang cukup lama mereka menyembunyikan identitas asli dirinya, hingga sulit membedakan mereka dengan penduduk setempat (asli).

Jelasnya penyebutan kata tapanuli berkembang lebih bersifat ke wilayahan. Itu sebabnya mereka yang menyebut diri sebagai orang tapanuli pada umumnya adalah mereka yang berasal dari wilayah Karesidenan Tapanuli dalam hal ini mereka yang berasal dari Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara. Mereka merasa lebih nyaman menyebut diri sebagai orang Tapanuli dari pada orang Batak. Orang Batak yang berasal dari Tanah Karo dan Simalungun, hampir tidak pernah menggunakannya, karena kedua wilayah ini termasuk Karesidenan Sumatera Timur, bukan Karesidenan Tapanuli. Begitu pula orang Pakpak/ Dairi, walaupun pada awalnya masuk karesidenan Tapanuli. Dengan menyebut diri sebagai orang Tapanuli ada keuntungan yang mereka peroleh. Yang pertama dan terutama ialah kesan negatif yang muncul dengan menyebut diri sebagai orang Batak. Kesan negatif ini telah tumbuh sejak William Marsden menerbitkan suatu buku dengan judul The History of Sumatra. Dalam bukunya, Marsden menulis tentang suatu suku di pedalaman Sumatera¾orang Batak¾yang masih kanibal. Marsden menulis tentang Batak berdasarkan catatan Charles Miller dan Giles Holloway yang pernah berkunjung ke pedalaman Tanah Batak pada tahun 1722.

Di tempat ini, mereka menemukan tengkorak manusia yang disimpan dalam lumbung padi. Dari penemuan ini¾tanpa melakukan penyelidikan lebih lanjut¾Marsden mengambil kesimpulan bahwa tengkorak itu ada, karena dagingnya dimakan. Marsden tidak tahu bahwa, pada zaman dahulu, orang Batak mempunyai kebiasaan bahwa mayat orang-orang tertentu, yang biasanya dihormati, disimpan lebih dahulu sebelum tiba waktunya untuk dikuburkan. Hal inilah yang mendorong Sir Thomas Stamford Raffles, setelah kepulangannya dari Calcutta, berkunjung ke pedalaman Tanah Batak pada bulan Februari 1820.

Lain Marsden, lain pula Junghuhn. Junghuhn, yang juga masuk ke pedalaman Tanah Batak, terheran-heran melihat seseorang yang memakan racun bahkan sambil tertawa. Inilah awal dari nama singkong (ubi kayu) dari Tanah Batak¾setelah diteliti¾diberi nama manihot utelessima, untuk membedakannya dari utelessima yang lain, yang dikenal sebagai singkong beracun. Cerita tentang orang-orang Batak “makan orang” tersebar ke seantero dunia, sementara si Marihot yang menawari Junghuhn untuk makan singkong, walaupun namanya sudah memperkaya ilmu botani, tidak pernah diketahui bahkan oleh orang-orang Batak sendiri.

Keuntungan lain ialah ialah dengan menyebut diri sebagai “orang tapanuli”, persatuan diantara dua puak besar (Mandailing/Angkola dan Toba) menjadi kokoh tanpa ada yang dirugikan. Karena sering ditonjolkan sebagai identitas diri, sebutan orang Tapanuli menjadi satu hal yang biasa bahkan hingga kini, tanpa menyadari bahwa sebutan tersebut adalah salah.
Tapanuli adalah nama satu wilayah mulai dari Natal dan Air Bangis berbatasan dengan Panti dan Rao dengan Propinsi Sumatera Barat. Menyusur jalan raya lewat Padang Sidimpuan, sampai ke Sibolga dan Barus berbatasan dengan Singkil di pantai barat Aceh. Termasuk dalam Karesidenan ini ialah Tapanuli Utara sampai batas Aek Nauli. Parapat sendiri adalah batas kota yang berbatasan dengan Karesidenan Sumatera Timur. Inilah wilayah Tapanuli sebelum adanya pemekaran sesuai dengan tuntutan Otonomi Daerah.

1 comment:

  1. Meskipun Nias termasuk bekas wilayah keresidenan Tapanuli, rasanya jarang ada oramg Nias mengaku “orang Tapanuli”.

    ReplyDelete